Forgive Me

NReeta
Chapter #8

Mengonfirmasi Kebenaran

Walidah melihat-lihat makanan ringan yang dibawa mamanya dari pengajian. “Ah, gak mau. Buat Mama, aja, semua.” Anak itu melemparkan bingkisan, lalu berlari ke luar rumah kembali bermain bersama teman-temannya.

“Bener, nih, gak bakalan dimakan?” tanya mama setengah berteriak memastikan anaknya tidak akan berubah pikiran.

“Iya, buat Mama, aja, semua.”

Begitu Walidah pulang dia mencari-cari bingkisannya lagi.

“Loh, bukannya tadi gak mau?”

“Ih, emang gak mau. Tapi, kan, harusnya Mama ngerti, dong,

disimpen dulu jangan langsung dihabisin.” Walidah merajuk, Aliyah hanya geleng-geleng kepala.

***

Aliyah berpikir keras bagaimana cara agar keluarganya bisa makan nasi tanpa lauk, mengingat suaminya tak membawa cukup uang untuk sekadar makan malam ini, dia menghaluskan kunyit dan dua siung bawang putih dicobek batu legendaris, yang umurnya melebihi umur putri tertuanya, menumis dengan minyak sisa yang tidak cukup banyak untuk membuat lima porsi nasi goreng.

“Mas, tolong ambil wajannya ke sini,” pinta Aliyah pada Denden, suaminya, sementara dirinya sendiri menyiapkan piring.

Denden menurut, dia membawakan wajan berisi nasi goreng bukan menggunakan lap, lelaki itu menahan telinga wajan menggunakan sutil, sementara bagian lainnya memakai tangan kosong. Tinggal beberapa senti lagi nasi itu sampai, tangannya tak sanggup lagi menahan panas.

Wajan tengkurap menumpahkan nasi terakhir yang bisa dimakan malam ini, semuanya mematung termasuk Denden, dia luar biasa kesal. Melemparkan wajan disertai umpatan kasar di hadapan anak-anaknya yang masih di bawah umur. Kakinya menendang gunungan nasi kuning itu. Bulir demi bulir berhamburan menutupi lantai. Denden pergi meninggalkan kekacauan yang dibuatnya tanpa rasa bersalah.

“Padahal kalo gak ditendang, bagian atasnya masih bisa dimakan. Udah anak-anak kita tidur sekarang, biar dia beresin sendiri nanti.”

Si kecil Walidah menangis ingin makan, bukannya ditenangkan, Aliyah memarahinya. “Ngapain nangisin makanan, kayak orang kelaparan, apa kata tetangga nanti. Besok Mama masakin lagi, cepet tidur!”

***

Aku tersentak, semuanya hanya mimpi. Sedikit kuingat dulu kami sering meributkan perkara-perkara kecil. Kak Esti dan Kak Pipit biang onarnya.

Kak Pipit paling manja di antara kami bertiga, dia tidak bisa makan ikan sendiri, dan satu-satunya anak yang ulang tahunnya dirayakan. Ya, memang bukan perayaan besar-besaran sampai mengundang teman, hanya acara tiup lilin bersama keluarga.

Kuenya pun bukan kue tart berhias krim dengan hiasan cantik yang membuat kita sayang memakannya. Bapak membelikan chiffon cake bertaburan meses dalam kemasan mika.

Di antara kami bertiga Kak Pipit yang paling cengeng, sedikit banyak aku mengerti kenapa dia mendapat perlakuan berbeda.

Tetangga akan datang ke rumah mengeluhkan rumah kami.

Lihat selengkapnya