Forgive Me

NReeta
Chapter #10

Keputusan Untuk Arum

Untuk sementara aku tak menghubungi Kak Pipit lagi, memikirkan perdebatan itu membuatku tak habis pikir pada diriku sendiri. Bagaimana bisa kami memikirkan masa depan seseorang tanpa menanyakan langsung apa yang diinginkan orang tersebut.

Aku meminta Arum datang ke rumah bapak akhir pekan, dan dia datang sesuai kesepakatan.

Bapak senang bukan main kedatangan anak bontotnya, memeluknya sebagai bentuk rasa rindu dan mencium pipi kanan dan kiri anak itu. Dapat kulihat Arum merasa risi, sejujurnya jika bapak begitu padaku pun pasti rasanya tidak nyaman. Mungkin bapak lupa, jika sekarang anaknya sudah gadis.

Sementara aku mencari makan untuk santap siang kami, Arum aku suruh untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang biasanya kulakukan.

Dia memonyongkan bibir, dahinya berkerut jijik begitu melihat tumpukan piring kotor. Sebelum mengeluh padaku, aku bersuara lebih dulu.

“Kakak udah sering ngerjain ini, sekarang giliran kamu, sesekali.”

Arum menatapku kesal, tapi tetap dia kerjakan.

Di tengah denting sendok beradu, bapak menanyakan kegiatan Arum di sekolah, apa yang akan dilakukan usai lulus nanti, peringkat berapa di sekolah. Ya, semacam pertanyaan basa-basi. Perlu kuberitahu bahwa bapak tak pernah benar-benar peduli pada pendidikan anaknya.

Contohnya aku dulu, peringkatku tak jauh beda dengan Arum semasa masih sekolah dulu.

Lulus SMA aku mendapat surat undangan dari universitas, karena nilaiku cukup baik dan masuk 10 besar.

“Pak, aku dapet undangan dari universitas, tapi…” aku ragu meneruskan kalimat selanjutnya. “Harus bayar biayanya segini, ini udah lebih murah, kok, kalo normal lebih mahal lagi.”

Bapak membelakangiku, jangankan dibaca diterima pun tidak. “Kamu, tuh, kalo pinter jangan nanggung-nanggung. Buat apa dapet undangan tapi masih harus bayar juga.”

Aku mengajak Arum ke luar, mengajaknya berbincang hanya empat mata.

“Kamu habis lulus ini mau ngapain?”

Anak menggelengkan kepalanya pelan. “Belum tahu, bagusnya gimana? Cari kerja?”

“Kak Pipit minta kamu masuk pesantren, aja,” ucapku untuk melihat reaksinya.

“Terus nanti kalo Kak Esti pulang gimana? Kata Kak Paskal, kan, bentar lagi.”

Aku mengangkat bahu. “Belum pasti Kak Esti bakal dipulangin sama pihak sana apa nggak, kalo gak pulang-pulang gimana, kamu udah kelamaan tinggal di sana. Malu.”

Arum terdiam tampak berpikir. “Siapa yang biayain?”

“Kak Pipit yang ngasih ide, pasti dia yang nanggung. Kakak udah sibuk sama bapak.”

“Ya, udah, deh, terserah.”

Lihat selengkapnya