Ayah Thalia berprofesi sebagai pengusaha makanan ringan, mulai dari keripik singkong sampai permen rasa buah. Yang dirintisnya setelah menikah bersama sang istri. Tempat usaha bermula dari produksi rumahan, ditawarkan keliling dengan gerobak hingga sekarang produknya nangkring di rak-rak supermarket dan warung-warung grosir.
Tidak mudah mempertahankan usaha ini, semakin terkenal semakin banyak pula yang meniru jenis usahanya. Paling menyakitkan karyawan kepercayaan yang bekerja bersama bertahun-tahun diam-diam mencuri resep, membuat produknya sendiri.
Tak habis akal, dia membuat terobosan baru, variasi rasa yang masih asing di telinga masyarakat. Rasa wasabi, dia mengujinya sendiri bersama tim sampai produknya layak jual, dan boom, laku keras. Viral. Para foodvlogger mencoba keripik buatannya, secara tidak langsung membantu memasarkan produk tanpa mengeluarkan biaya iklan.
Bunda Thalia sendiri seorang guru di salah satu sekolah swasta. Mengundurkan diri demi membantu usaha suaminya yang lebih menjanjikan. Mereka menikah di usia nyaris kepala tiga. Membuatnya tidak berpikir untuk menunda kehamilan.
Namun, dalam urusan rumah tangga ada saja cobaannya, entah orang tua, anak, tetangga, atau pasangan sendiri. Cobaan mereka datang dari kesulitan memiliki anak.
Anak pertama meninggal saat usia kandungan empat bulan, setahun berikutnya hamil lagi anak kedua. Namun, umurnya tidak lama hanya dua tahun karena suatu penyakit.
Bukan main rasa sedih mereka, dua kali ditinggalkan anak. Bunda larut dalam duka berbulan-bulan, rasa takut menjalari hatinya untuk memiliki anak lagi.
Bukan takut merasakan lagi sakitnya melahirkan, lelah begadang menemani bayi tengah malam, tapi takut ditinggalkan lagi untuk kesekian kalinya.
“Aku serahkan keputusan sama kamu, kamu mau hamil lagi, ayo. Kalo nggak juga, aku gak bakalan maksa. Asal kamu harus inget, jangan buat keputusan bodoh yang bakal buat anak-anak kita kecewa. Mereka lagi nunggu kita di surga…” ucap Ayah Thalia lirih, melihat istrinya kehilangan gairah hidup, mengurung diri dalam kamar anaknya yang telah tiada. “Mereka bakal jemput kita, kita lakukan yang terbaik, Sayang. Sampai kita layak untuk ketemu mereka lagi.”
Bunda Thalia memeluk lututnya melihat ke depan dengan tatapan kosong. Kini beralih melihat suaminya. Ayah Thalia memeluknya, mengecup kening sang istri berulang kali. Dia sama-sama terpukul atas kehilangan ini. Bundalah alasan ayah untuk tetap bertahan.
Ayah membawa Bunda ke psikiater, demi mengembalikan keceriaannya. Cukup efektif, kondisi bunda perlahan pulih. Lima tahun kemudian, bunda berencana ingin memiliki anak lagi, tentu ayah menolak. Akan seperti apa hidup mereka jika masa kelam itu terulang lagi.
“Aku ngerasa kesepian, aku kangen tangisan bayi lagi. Aku mau gendong anak lagi.”
Bunda memohon-mohon, akhirnya ayah luluh. Mereka melakukan program kehamilan di usia yang tak muda lagi. Dan lahirlah Thalia.
Thalia lahir dengan penuh kasih sayang dan cinta, makan makanan bergizi, kenyamanan dan kedamaian di sekelilingnya. Sakit sedikit hanya flu batuk pun orang tuanya akan heboh, memanggil dokter.
Sekolah dari SD sampai SMA, diantar jemput orang tuanya, jika tak memungkinkan memakai bantuan supir pribadi.
Walaupun mereka sibuk dengan bisnis, Thalia selalu dinomor-satukan. Rapat penting dengan klien batal jika sesuatu terjadi pada Thalia.