Sebelas hari, Thalia nyaris putus asa. Dia ingin menyerah saja dan urung mengejar mimpinya. Lihat tangannya memerah dan mulai agak kasar. Bunda dan Ayah memang tak pernah berniat mengizinkannya pergi. Mereka hanya ingin mengerjainya saja. Pikir Thalia frustrasi.
Namun, itu berarti pengorbanan sebelas hari akan sia-sia. Thalia bertahan, bukankah memang begitulah yang mereka inginkan. Agar Thalia tetap di sini tidak pergi ke mana-mana.
Bunda Thalia tidak yakin ide ini bagus, dia belum terbiasa melihat putrinya melakukan apa-apa sendiri. Akan tetapi, dia sendiri tak tahu bagaimana cara menghentikan anaknya yang ingin pergi dari jangkauannya.
“Ayah, kok, Thalia gak pernah protes lagi, ya? Apa dia serius mau hidup sendiri di luar?”
“Mungkin ini sudah saatnya kita biarin apa maunya Thalia, tugas kita sekarang support dia dari belakang.”
Bunda termenung, rasanya ini terlalu mudah untuk anak yang seumur hidupnya sangat dimanjakan. Tapi, dia harus percaya anaknya bisa melewati semua tes ini.
***
Tiga minggu berlalu, Thalia mengepalkan tangannya kuat-kuat, memekik penuh semangat di dalam kamarnya, sejauh ini dia berhasil melewati semua ujian konyol itu dengan baik.
Ayah dan bunda datang ke kamar dengan wajah yang tak dapat Thalia ungkapkan.
“Gimana, Yah, Thalia hebat, kan, tinggal seminggu lagi. Ayah sama Bunda jangan terlalu kangen sama Thal, yah,” ucapnya penuh percaya diri.
Ayah mengacungkan selembar kertas tanpa mengucapkan sepatah kata.
Mata Thalia melotot garang, segera tahu apa yang sedang dipegang sang ayah, dia menyambar kertas itu dengan mudah tanpa perlawanan berarti.
“Jadi diam-diam kalian menggeledah kamarku?”
“Kenapa kamu lakuin itu Thalia?” Jelas sekali ayahnya terlihat kecewa, tak menghiraukan pertanyaan sang anak.
Tepatnya pagi tadi bunda melihat kertas kecil itu tergeletak begitu saja dekat keranjang sampah di kamar Thalia. Segera setelah dilihatnya, dia tahu selama ini mereka dicurangi. Thalia tidak melakukan semua pekerjaan itu dengan tangannya sendiri.
Untuk kasus mencuci baju, dia menyerahkannya pada penatu. Mencuci piring pada Bibi dengan iming-iming bonus dari Thalia, yang akan dibayarkan setelah gaji dari ayah. Begitu juga dengan menyapu, pel lantai kamarnya semuanya masih dilakukan bibi. Tanpa sepengetahuan ayah dan bunda.
Bunda mendatangi penatu tempat Thalia berlangganan, sudah kali ke tiga dia menggunakan jasa cuci baju itu.
Untuk urusan makanan, alih-alih memasak sendiri di rumah dia pilih makan di luar dan pulang dengan perut penuh. Setelahnya membeli cemilan untuk dimakan malam-malam jika lapar melanda.
Jelas mereka dibodohi, namun bunda puas. Anaknya tidak akan lulus ujian dari mereka, yang artinya Thalia masih akan tinggal bersama di rumah.