Jika semesta ini memiliki keadilannya sendiri, maka beliaulah yang menghantarkan seekor kupu-kupu untuk melintasi hutan dan membangunkan gadis dalam dekapan akar pohon. Lantas meminta hinggapan sayap-sayap manis itu mengusik Ningrum yang tampak betah dalam mimpi indahnya walau matahari begitu cerah dan cahayanya tak menimbulkan bayang.
Ningrum tersadar, menghalau pergi serangga yang mengiranya sumber makanan. Dia beranjak meski kedua mata belum terbuka benar, berjalan dan menendang akar pohon beberapa kali hingga satu per satu melilit kaki dan menjerat ia jatuh.
Gadis itu tak tahu apa yang terjadi pada. Ingatannya terbatas hanya saat ia berlari ke dalam hutan entah karena sebab apa dan akhirnya dia tersesat. Barangkali sesuatu menimpanya dan dia jatuh pingsan di sini. Pandangannya dialihkan ke kanan-kiri, berharap dapat menemukan jalan keluar. Namun pepohonan di atas sana seperti sengaja menyesatkan. Terlebih saat ia telah menetapkan tujuan, sosok gadis yang tak pernah ia duga justru muncul di hadapannya.
“Febri?” Kamu ‘kah itu?” tanya Ningrum penuh keraguan. Pasalnya, Febri telah menghilang sejak tiga tahun lalu.
Gadis itu memegang erat bahu Ningrum dan menatapnya lekat. “Ningrum!” bentaknya frustasi. “Apa yang kamu lakukan di sini? Cepat pergi! Pergi!”
Febri melesat jauh meninggalkan Ningrum yang masih terpaku, tidak percaya dengan hal yang baru dilihatnya seumur hidup.
“Tunggu, Febri! Jangan pergi dulu!” teriak Ningrum menggema di antara ranting-ranting pohon.
Ningrum bangun dan berusaha melepaskan akar yang membelenggu langkahnya. Dia tak ingin kehilangan jejak Febri lagi biarpun ia tak tahu ke mana Febri pergi, dia yakin bila sahabatnya masih berada di sekitar hutan ini. Bagian kecil dari intuisinya mengatakan hal itu.
Setelah melepaskan diri, Ningrum menelusuri hutan sembari memanggil nama Febri. Tanpa ia ketahui bahwa Febri mengikutinya sejak tadi.
“Jangan ikuti aku … pergi … pergi dari sini sekarang!” suara Febri memekakan telinga, berdengung dan berasonansi di waktu yang sama.
Ningrum berhenti di tengah hutan dan mengalihkan pandangan, berharap dapat menemukan asal suara Febri yang sedikit menciutkan hati. Tetapi rasa penasaran dan kasih persahabatan itu tidak terbendung, dia sangat ingin menemui Febri dan meluruskan semuanya. Begitu pula dengan Febri.
“Aku di sini!” seruan itu diikuti tawa cekikian Febri yang melongok dari balik pohon.
Ningrum segera menghampiri dan memeluk Febri erat. “Aku sangat merindukanmu,” ujar Ningrum menahan air mata.
Febri menolak Ningrum dan menatap wajahnya yang pucat dengan senyum misterius.
“Kamu sangat cantik. Apakah keluargamu memperlakukanmu dengan baik?” terka Febri yang mencakar pipi Ningrum hingga meneteskan darah.
Ningrum tersentak, menatap marah Febri dan berteriak, “Apa yang kamu lakukan?”
Febri terdiam. Raut wajah yang tengah bahagia menjadi muram. Dia mendekati Ningrum dan hendak menyentuh lukanya, membuat Ningrum mundur seketika.
“Aku tidak sengaja melakukannya. Kenapa kamu marah sekali?” heran Febri, lupa bila beberapa perasaannya telah tiada.
Ningrum melotot, bingung dengan cara pikir Febri yang berubah. Angin sepoi-sepoi yang bertiup tidak memudarkan rasa sakit, justru menambah rasa perih hingga ia meneteskan air mata.
“Febri, kita sudah lama tidak bertemu. Tapi kamu malah melukaiku. Apakah kamu sudah lupa kalau kita ini sahabatan sejak kecil?” tanya Ningrum terisak.
“Baiklah, aku tidak akan bercanda lagi. Kemarilah!” pinta Febri lalu meniupkan sesuatu ke wajah Ningrum. Luka di wajah Ningrum tiba-tiba sembuh dan berubah menjadi paras orang lain.
Ningrum menyentuh wajahnya dan takjub. “Apa yang terjadi?”
Febri tersenyum pelan kemudian menjawab, “Itu adalah kemampuanku di dunia ini. Tapi kamu jangan takut. Aku melakukannya untuk melindungimu.”
“Kamu ke mana saja selama ini? Kenapa kamu tidak kembali ke rumahmu?” tanya Ningrum khawatir.
Dari tempatnya berdiri, Ningrum dapat melihat Febri yang menyembunyikan sesuatu dalam benaknya, terlebih saat Febri menggeleng pelan seraya mengembuskan napas lelah.
“Aku tidak bisa kembali. Di sinilah tempatku sekarang. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan aku lagi,” tukas Febri mengelak.
Saat berbicara, Febri merasakan sesuatu yang buruk seakan menghampiri. Dengan kemampuannya sekarang, tidak mungkin bagi Febri untuk mengalahkan makhluk itu.
“Kamu kembalilah ke rumahmu. Jangan ikuti aku. Tidak ada tempat bagimu di sini,” usir Febri, mendorong Ningrum menjauh dan hilang di rimbunan pohon.
Sekalipun Ningrum mengejarnya, dia tidak dapat menemukan Febri di mana pun ia melangkah. Sampai kupu-kupu yang tadi menghinggapinya muncul dan terbang memutar, lalu menuju arah yang berlawanan dengan matahari. Ningrum seakan mendapat pertanda untuk menemukan Febri. Mengikuti serbuk-serbuk nan berjatuhan bak manik-manik, Ningrum mengabaikan dedaunan yang dapat menyapa ataupun rerumputan yang menghalang.
Di atas pohon yang lebat, Febri menyembunyikan diri sambil memerhatikan Ningrum yang berjalan menuju posisinya.
“Aku tidak bisa kembali dan kamu pun tidak boleh berada di sini terlalu lama. Maaf, Ningrum. Meskipun kita pernah menjadi teman baik, aku terpaksa harus melukaimu agar kamu menyerah,” ucap Febri pelan lalu melompat, melesat ke arah Ningrum dengan kayu runcing di tangannya.