Sejak terbangun di istana para wanita, Ningrum telah terkesima dengan arsitektur yang di luar batas nalar. Ruangan itu sepenuhnya memadukan warna putih dengan sihir yang luar biasa. Dindingnya bercorak bunga yang menyerupai kepingan salju, ditambah lantai bernuansa kolam yang permukaannya dibekukan hingga tampak seperti kaca. Namun ruangan itu kosong bagai penjara. Hanya berisikan jendela yang tertutup rapat beserta bulu-bulu angsa yang disulam menjadi ranjang bak kumpulan awan.
Meski Ningrum sibuk mengagumi, dia menyadari orang-orang yang datang dan membuka pintu.
Dayang-dayang yang masuk segera memeriksa Ningrum dan menemukannya masih tidak sadarkan diri.
“Putri, mungkin ini bukan saat yang tepat untuk menginterograsinya,” ujar salah seorang Dayang.
Clementine mendekati Ningrum dengan langkah elegan, seakan seluruh keanggunan di dunia itu menjadikan dia simbol tunggal.
“Kalian keluar dulu. Aku akan melihatnya sebentar,” ucap Clementine, menghalau pergi dayang-dayangnya.
Ningrum yang sejak tadi berpura-pura mulai terusik oleh Clementine yang tak juga pergi, malah tiba-tiba menyentuh tengah dadanya dan sedikit bergeser ke kiri, merasai detak jantungnya.
“Apa yang kamu lakukan?” pekik Ningrum, melompat bangun dari ranjang dan melindungi diri dengan kedua tangan, bersungut-sungut dalam hati. “Aku tidak pernah bermesraan dengan laki-laki mana pun. Bagaimana bisa aku terima jika diremehkan oleh perempuan sekali pun dia sangat cantik?”
Clementine semakin mendekati Ningrum saat bayangan seseorang yang dikenalnya melintas dengan kabur, membuat Ningrum mundur lebih jauh hingga punggungnya menabrak dinding dan merasakan kulitnya terbakar oleh dingin yang ekstrem.
“Jangan berteriak!” cegah Clementine, cemas akan para prajurit yang sedang memasuki istana, menandakan kedatangan Raja mereka yang tak kenal ampun.
Dengan kekuatan sihir dinding-dinding salju yang dikumpulkan Clementine, langit-langit ruangan itu mencair, menjatuhkan butiran permen kapas yang putih dan hangat, memudarkan perih di punggung Ningrum sekaligus mengantarnya ke alam mimpi.
Raja beserta pengawalnya masuk ke dalam ruangan walaupun beberapa pelayan berusaha menahannya.
“Kepentingan apa yang membuat Raja mau datang ke istana dingin ini?” ucap Clementine halus namun satire.
Raut wajah Adry berubah masam, diacuhkan Clementine yang menyambut kehadirannya dan berpaling kepada Ningrum.
“Pengawal! Bawa tahanan ini ke penjara bawah tanah!” Adry memberikan perintah.
Clementine yang tak terima pun bergegas. “Jangan ada yang berani menyentuh dia!” larangnya.
Para pengawal gemetar, sadar takkan mampu melawan bangsawan yang memiliki sihir tinggi. Tetapi mereka juga tidak bisa menolak perintah Raja mereka.
Amarah Adry terpancing. Sepasang mata hijau yang menandakan dia keturunan dewata tak berhasil menggertak Clementine dengan sifat lemah lembut.
“Seorang Permaisuri tidak sepantasnya mengumbar ego dan mengabaikan objektivitas. Jika manusia itu menyebabkan kekacauan, rakyat akan mempertanyakan kredibilitasmu sebagai seorang penguasa,” cecar Adry kepada Clementine.
“Sampai hal itu terjadi, saya tidak akan memohon padamu,” ketus Clementine, yakin dengan keputusannya untuk mempertahankan Ningrum.
Adry memberi sorot peringatan sebelum meninggalkan ruangan bersama pengawalnya. Sampai di luar istana, para pengawal itu dia habisi untuk melampiaskan emosi.
Clementine dapat merasakan energi Adry yang meluas karena mereka terhubung satu sama lain sejak mereka menikah. Sayangnya sang raja tidak dapat melupakan cinta pertama yang telah tiada. Terpuruk dalam kesendirian hingga menutup hati bahkan kepada wanita sempurna seperti Clementine.
Kendatipun demikian, kenyataannya tidak ada hati yang dapat tertutup. Clementine meyakini hal itu selama ini dan berusaha untuk berpegang teguh pada cintanya. Tapi kadang kala, menunggu bisa menyakiti walau sedalam samudra pun cinta itu, membuat wanita yang seharusnya bahagia dengan pernikahannya justru tengah mengerutkan kening, memijit kepala. Sesekali ia melirik ke Ningrum yang masih terbaring, tak tersentuh oleh keributan di luar sana.
Setelah meyakini Adri telah meninggalkan istananya, Clementine buru-buru pergi, melewati lorong istana yang sepi pengunjung dan berdiri di depan pintu kayu reyot.
Dari naungan kegelapan, seorang nenek renta memanggil Clementine masuk dan berbisik dengan suara khas.
“Apa yang membawamu ke sini, Putri?” Nenek itu memulai perbincangan.
Clementine menepuk pelan punggung bungkuk Nenek itu dan memeluknya erat. Dengan begini, dia bisa merasa tenang.
“Keresahan hati, Nyonya Malai,” jawab Clementine murung.
“Ceritakanlah, Putri. Wanita tua ini akan mendengarkan,” sambut Nyonya Malai.
“Nyonya Malai tahu bahwa saya memiliki kemampuan membaca masa depan seperti mendiang suami Anda. Namun kemampuan saya bukan tandingan Tuan Malai,” ucap Clementine seraya melirik sekitar. Firasatnya berkata ada penguntit yang baru saja pergi setelah mencoba menerobos tamengnya.
“Ya, Putri. Semoga berkatmu melindungi kerajaan ini hingga beribu tahun lamanya,” doa Nyonya Malai, bersujud pada langit biru di luar sana yang memberinya secercah harapan untuk bertahan hidup.
Putri yang memiliki kekuasaan kedua di kerajaan itu membisu, menyaksikan ketabahan hati Nyonya Malai, nuraninya tercekik. Dahulu kala, Nyonya Malai merupakan istri peramal yang sangat dihormati jagad raya. Karena menuntut keadilan dengan cara yang salah, keberadaannya tidak diakui, bahkan menjadi momok bagi keluarga kerajaan.