Adry tengah mengarsipkan beberapa laporan di labirin catatan kematian saat seseorang mengetuk pintu dan memasuki ruangan berpagar emas.
“Masuk!” Adry memberikan izin.
Seorang dayang masuk dan bersimpuh di hadapan rajanya.
“Bukankah kau dayang kesayangan permaisuri? Apa yang kau inginkan?” terka Adry, tahu persis bila dayang itu tengah menyembunyikan sesuatu.
“Benar, Yang Mulia. Hamba kemari untuk memohon petunjuk. Beberapa hari yang lalu, Putri membawa seseorang manusia ke istana dingin. Sejak saat itu, Putri tidak pernah tampak baik seakan memiliki beban yang berat. Selumbari, salah satu dayang menemukan batu kecubung dan Nyonya Malai menghilang,” lapor dayang itu tanpa ragu.
Adry tercengang dan melihat ke dalam mata dayang Elisi, tetapi tidak ada kebohongan.
“Kepada siapa saja kamu melaporkan hal ini! Katakan!” geram Adry. Dia mencurigai Elisi yang bisa saja mengkhianatinya dan membocorkan masalah itu ke pihak lain.
“Ampun, Raja! Hamba hanya setia pada kerajaan.” Elisi seketika berlutut tanpa berani bertatapan dengan mata Adry yang mengobarkan cahaya hijau.
“Bagus. Semoga kamu tahu hukuman yang berlaku bagi pengkhianat,” ucap Adry memperingatkan.
“Hamba mengerti, Yang Mulia. Hamba pamit undur diri.” Elisi meninggalkan ruangan dengan tubuh gemetaran, terancam oleh aura yang dikeluarkan Raja Adry.
“Sepertinya mantra penyegel yang digunakan oleh para tetua mulai melemah. Aura keemasannya semakin mengancam. Aku harus segera menemukan cara untuk menemui Tuan Kekelaman dan melaporkan hal ini,” batin Elisi, bergegas meninggalkan istana utama.
Selayaknya ahli strategi, Adry di dalam ruangannya tengah terpaut dengan informasi yang disampaikan Elisi.
“Ternyata musuhku sudah tidak sabar untuk menggunakan pionnya.” Adry meremas gulungan buku usang. Perabotan di atas meja Adry melayang, berputar-putar dan hampir raib menjadi abu.
Sebuah catatan kematian mengalihkan perhatian Adry. Dengan kekuatan spiritual, buku yang diinginkannya terbang ke hadapannya dan terbuka, bertuliskan, “Selir Alayna, meninggal karena melompat ke kolam cermin setelah gagal membuktikan diri sebagai jodoh yang ditakdirkan oleh bintang-bintang bagi Raja (terdahulu)”.
Adry menutup buku itu tanpa menyembunyikan senyum kemenangan.
“Pelayan! Kirimkan pesan ke istana dingin bahwa aku menginginkan tahanan itu menghadap ke istana utama!” titah Adry.
Pelayan itu menerima perintah dan segera menuju ke istana dingin.
“Yang Mulia Raja memberikan titah!” seru pelayan itu mengumumkan.
Elisi dan dayang lain yang berada di sana segera bersimpuh.
“Tuan Putri sedang keluar. Tolong berikan surat perintah itu agar saya bisa menyampaikannya pada saat Putri kembali,” pinta Elisi.
Pelayan itu menepisnya dan mendorong Elisi jatuh di hadapan dayang lain. “Lancang! Hanya keluarga kerajaan yang boleh melihat isi surat ini!”
“Apakah Rajamu ada melarang orang lain melihat surat itu?” tanya Clementine yang baru kembali ke istana dingin.
“Salam, Putri,” hormat pelayan itu ketakutan. Jika benar rumor yang mengatakan Putri Clementine memperlakukan semua orang istana seperti keluarga sendiri, maka itu berarti dia telah menyinggung seorang permaisuri.
“Jawab pertanyaanku,” ucap Clementine dingin.
“Ampun, Putri. Hamba mengaku salah. Tolong ampuni hamba, hamba hanya diperintahkan untuk mengirimkan surat ini ke istana dingin.” Pelayan itu membungkuk berkali-kali.
“Berikan surat itu kepada dayangku. Lalu temui Kepala Pelayan istana untuk belajar tata krama.”
“Baik, Putri. Terima kasih. Hamba pamit undur diri.” Pelayan itu meninggalkan istana dingin tanpa berani menoleh kembali.
Elisi mendekati Clementine yang duduk di singgasananya, tampak gusar saat melirik ke surat di tangan Elisi.
“Putri, surat ini,” ucap Elisi ragu-ragu.
“Saya sudah tahu apa yang diinginkan Raja. Tidak perlu membacakan isinya,” ujar Clementine cemas.
“Apakah Putri berkenan menyerahkan manusia itu kepada Yang Mulia?” tanya Elisi memastikan.