Ombak memecah keheningan, mengingkari gravitasi air yang menyibak ke udara hampa, memercik ke rerumputan yang disenangi arwah-arwah kecil berupa serangga. Cerminan cakrawala di permukaan sungai tercerai-berai, mengelak dari sepasang insan yang dijatuhkan sebusur-panah.
Dinginnya menyumsum, menggebu rasuk selaras pertukaran oksigen di paru-paru. Ningrum berupaya melawan arus yang seperti menyeret ia ke dasar, tetapi sepasang kakinya kaku. Air semakin menggenang matanya yang menyipit karena tekanan, buih-buih yang berputar-putar bak salju mulai tak terlihat.
Di balik tirai air, Adry yang berusaha untuk tidak menghirup terlalu banyak arwah air, hampir saja kehilangan pertahanan diri saat sosok Ningrum yang ikut terseret kekuatan mistis di depannya berubah menyamai gadis yang ia cintai.
Tanpa diperintah, arwah-arwah air menghilang, meninggalkan kolam jernih biasa yang mampu membiaskan cahaya. Simbol salju di rambut Ningrum berpencar dan mewujud cahaya putih yang menarik mereka bersama dengan cahaya api milik Adry. Tanpa sadar pun, Adry memeluk tubuh Ningrum dan menghalau air, membopongnya ke permukaan.
Mereka terbatuk-batuk saat tiba di tepi kolam, meloloskan arwah air yang sempat terperangkap dalam organ pernapasan.
Sinar matahari di celah tebing memberi Adry kesempatan untuk melihat sejenak paras Ningrum, namun bukan paras ayu sang kekasih yang sempat terlintas.
“Rahasia apa yang dimiliki oleh manusia sepertimu?” cetus Adry tiba-tiba.
Ningrum mengalihkan pandangan, enggan bertatapan dengan lelaki yang tidak memiliki nada lembut dalam ucapan. Dia terburu-buru beranjak, hendak meninggalkan sang Raja yang masih enggan berpindah posisi. Tak ayal, Raja yang memiliki arogansi super itu tidak mungkin membiarkan Ningrum mengabaikan pertanyaannya. Adry menarik pergelangan tangan Ningrum hingga terhuyung dan jatuh berlutut di pangkuannya.
“Apa maumu!” pekik Ningrum dengan pipi memerah.
Bagaimanapun Adry memaksa untuk melihat wajah Ningrum, gadis itu tetap menolak. Beberapa kali ia menghempas tangan Adry yang menyentuh wajahnya, namun tak dapat melepaskan genggaman Adry.
Sementara Adry semakin penasaran setelah mengetahui ada sihir yang mengubah paras Ningrum tanpa bisa ia patahkan.
“Siapa dirimu sebenarnya?” Adry bertanya tanpa mengedipkan mata.
“Kalau kuberitahu pun kamu tak akan tahu,” jawab Ningrum mulai kehilangan kesabarannya.
“Katakan sekarang atau kau akan menyesal telah berani bersekutu dengan pengkhianat!” Lantang Adry seraya menarik Ningrum lebih dekat, menggunakan kedua mata gaib untuk menggertak Ningrum.
Ningrum membalas tatapannya dengan lancang, tak lagi gemetar.
“Atas dasar apa aku harus menuruti perintahmu?” Ningrum memutus rantai sihir Adry yang tak terlihat, mengabaikan Adry yang bertanya-tanya apa yang terjadi dengan manusia itu hingga mampu menghancurkan sihir penghukuman.
Dari balik tebing, Clementine tertatih-tatih menghampiri Ningrum dan mengajaknya kembali ke istana dingin diikuti beberapa dayang.
“Putri,” ucap dayang Elisi saat mereka tiba di dalam istana.
“Bawa dia ke kamarnya!” perintahnya ke dayang lain.
Elisi memapah Clementine yang tampak kesakitan ke kamar, lalu memanggil tabib istana untuk mengobati Tuan Putri.
“Tabib, bagaimana keadaan Putri?” tanya Elisi sambil membawa nampan berisi obat dan pakaian yang berbekas abu.
Tabib wanita itu menunduk lemah, bersedih dengan nasib yang mendekati istri Raja mereka.
“Hamba tidak dapat mengobati luka bakar yang merupakan api dewata. Hanya Yang Mulia Raja sendirilah yang dapat menghilangkan bekas luka bakar di punggung Putri.
Si tabib memaklumi tanggapan Clementine yang tersenyum sekilas dan memintanya kembali ke istana. Siapa pun akan mengerti. Bila Permaisuri terluka di tangan Raja sendiri, mana mungkin Raja akan mengobatinya tanpa syarat. Mungkin Permaisuri yang tidak dikehendaki sang Pembaca Bintang itu telah disampaikan oleh Yang Mulia.
“Jika Raja tidak tulus kepada Putri, mengapa harus menikahi Anda. Meskipun dia Raja yang amat berkuasa, dia tidak dapat menjaga Putri dengan baik Bukankah lebih bagus jika Putri menceraikan Raja?” keluh Elisi meneteskan air mata.
Putri Clementine yang memiliki puluhan goresan cakar api di punggungnya bahkan tidak menangis. Dia mempertahankan senyum selayaknya seorang permaisuri. Tetapi ia tidak naif. Lingkaran api yang mengurung dan meninggalkan luka di tubuh indahnya telah mengajari dia untuk mengikhlaskan cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Sama seperti sekarang. Adry yang datang ke istana dingin untuk mengunjunginya pun ia tolak. Enggan melihat dan jatuh lagi pada perasaan rumit yang diikrarkan oleh sumpah pernikahan di masa lampau. Perasaan mereka tidak nyata karena mereka tidak ditakdirkan bersama oleh bintang-bintang.
Setelah kehadirannya ditolak, Adry melangkah kembali ke istana. Tapi tanpa diduga, ia malah berpapasan dengan Ningrum.
Ningrum tersentuh, menyimpan perasaan dalam hati. “Kenapa dia ada di sini? Apakah dia mengejarku sampai ke sini.”
Adry mengatupkan kelopak mata. Sebab masalah Clementine, dia hampir saja merupakan pemicu kecurigaannya.