“Aku akan biarkan yang lalu menjadi masa lampau dan setiap kesalahanmu telah kumaafkan. Untuk kali ini dan ke depannya, kamu dilarang meninggalkan istana ini,” ucapan Adry yang tengah terperdaya oleh kenangan masa lalu mengagetkan Ningrum.
Kewarasan yang sempat diracuni perasaan rindu nan asing kembali tersadar. Ningrum mendorong Adry hingga pria itu meliriknya tajam, meminta penjelasan.
“Aku tidak mau tinggal di sini selamanya,” tegas Ningrum menghindar.
Adry berang, merasa dipermainkan oleh Ningrum. Dia menarik wajah Ningrum dan mencakarnya hingga berdarah.
Ningrum memekik perih seraya memegangi pipinya. Pria yang berdiri di hadapannya terlalu sulit untuk dicintai. “Jika kamu menyakitiku lagi, aku akan pergi!” ancam Ningrum.
Kelopak mata Adry membelalak, tangannya mengepal, meneteskan darah.
“Kamu tidak diizinkan pergi di istana ini sampai aku menemukan siapa dirimu sebenarnya!” Adry membalikkan badan, meninggalkan istana bersemi dengan penuh kerisauan.
Selepas kepergian Adry, Aga dan Ega muncul dengan kepakan sayap ungu dan biru mereka yang bercorak akar tanaman hias.
“Aku sudah meremehkanmu. Tidak menduga, kamu dapat membuatnya mendekapmu seperti seorang kekasih lama,” puji Ega yang tengah menyilangkan tangan.
Ningrum melirik mereka dengan ketenangan yang aneh. Sampai Ega pun berhenti mengepakkan sayap.
“Aku penasaran. Alasan apa yang membuat kalian begitu membencinya?” tanya Ningrum tanpa beranjak.
“Alasan apa katamu! Dia sudah membunuh-,” Ega yang menjawab setelah terpancing emosi segera dihentikan oleh Aga.
Tidak heran bila Aga mudah tersenyum. Dia memiliki pikiran yang tajam namun pandai menyembunyikannya dengan rapi. Tatanan rambutnya yang anggun tak dapat menutupi ekspresi mata yang memicing curiga.
“Kami tidak membenci Raja. Yang Mulia telah melindungi kerajaan ini dengan sisa kekuatannya selama beberapa tahun waktu lalu, tidak mungkin ada celah bagi kami untuk membencinya. Hanya saja, kesedihan Raja yang ditinggal oleh kekasihnya semakin terlihat akhir-akhir ini. Kami sangat berharap jika Raja dapat memiliki kekasih baru dan kami yakin itu adalah kamu. Kekasih yang ditakdirkan oleh langit untuk menjawab doa-doa kami,” elak Aga. Bahkan saat berbohong pun ia tampak biasa saja.
Sekilas terlihat aura Ningrum yang berubah, menimbulkan kewaspadaan Aga. Ningrum seperti dirasuki oleh makhluk lain. Namun kegiatan posesi di dunia ini tak semudah jiwa penasaran yang mengambil alih tubuh manusia untuk sesaat. Di dunia perbatasan hidup dan mati ini, hanya bangsawan dengan kekuatan tingkat dewata dan mantra kematian terkutuk yang dapat memindahkan jiwa ke medium hidup, melakukan sebuah posesi.
Aga sangat ingin memastikan kecurigaannya, tetapi Ningrum tak memberi celah.
“Jangan lupa bahwa Raja akan mencarimu lagi. Walaupun parasmu tak begitu menarik, tapi sihir yang baru kupelajari pasti bisa mengubah penampilanmu sekarang. “Ega merapatkan sayap, merapalkan mantra berima indah dan seketika, pakaian Ningrum yang lusuh pun berganti gaun klasik biru keunguan, berhias bunga-bunga dengan warna setara.
“Kerja bagus, Ega. Aku yakin Raja pasti menyukainya,” puji Aga bangga.
Ega bergumam sendiri. “Sepertinya ada sihir yang menghalangi mantraku.”
Jauh dari jalan utama istana bersemi, Dayang Elisi yang menggunakan kemampuannya untuk mencari serangga malam, tak sengaja menyaksikan perilaku Raja Adry pada Ningrum. Tanpa memikirkan serangga malam yang terbang bebas, Elisi kembali ke istana dingin dan terburu-buru menemui Clementine di kamarnya.
“Putri, hamba ingin menyampaikan sesuatu.”
Tabib yang sedang mengawasi kultivasi Clementine sontak melirik tajam, memberinya isyarat untuk keluar mengikutinya.
Sebuah tamparan mendarat di pipi Elisi, menyadarkan dayang itu akan kecerobohannya.
“Di mana akal sehatmu! Jika sesuatu terjadi kepada Putri Clementine, rencana Tuan kita akan gagal dan jiwa kita akan dipenggal,” marah Tabib itu tanpa bersuara.
Elisi membelalak, menyesali sikapnya barusan.
“Ini karena gadis manusia itu. Jika dia tidak menggoda Raja, aku tidak akan sekacau ini,” keluh Elisi.
“Hal ini tidak perlu kamu beritahukan kepada Putri. Tuan pasti akan membereskan siapa pun yang menghalangi rencana.” Tabib itu berpaling, kembali menjaga Clementine. Putri yang dahulu pernah dianggap seperti adiknya sendiri pun harus menjadi bidak Ratu dalam pemberontakan, memberi ia penyesalan setiap kali mengingat kelemah-lembutan Putri Clementine dan kakaknya yang anggun.
Setelah beberapa jam berlalu, tabib itu masih bersedia menunggu hingga Clementine membuka kedua matanya bercahaya biru. Lingkaran sihir di langit-langit memudar saat ia meneteskan air mata.
“Putri? Kenapa Putri menangis? Apakah hamba telah melakukan kesalahan sampai menyakiti Putri?” cemas si Tabib.
Clementine menggeleng pelan, menjatuhkan butir-butir salju yang muncul dari sihirnya.