Tiada ketenangan untuk malam bulan terang dan tidak kedamaian bagi fajar menyingkap temaram. Pagi ini, suasana dalam istana utama diselimuti ketakutan dan darah berceceran. Setiap sudut di ruangan terjauh menjadi tempat persembunyian.
Raja yang adikara tengah melampiaskan emosi, menghancurkan apapun yang melintas di hadapannya.
“Yang Mulia, tenangkanlah dirimu.” Suara penuh kecemasan dari pelayan yang berkemampuan meloloskan diri menggema di dalam ruangan. Pelayan setia itu terlalu takut untuk menunjukkan batang hidung.
Adry menurunkan kemarahan, duduk di kursi kekuasaan seraya memijit kening. “Suara itu sangat jelas. Dewa telah menurunkan mandat melalui anak angkat, sang Pendeta. Usahaku dan ayahku melenyapkan jiwa-jiwa yang berpeluang memiliki kemampuan meramal sia-sia. Salah satu dari antara mereka telah lolos dan berkhianat.”
Pelayan muncul, bersimpuh di samping Raja tanpa berani menatapnya.
“Yang Mulia. Bagaimana hal itu memungkinkan? Prajurit kita sudah menyihir hingga ujung cahaya, tidak mungkin berkah itu dapat diberikan di wilayah gelap, di mana makhluk-makhluk terkutuk berada,” heran si pelayan. Dia sangat cerdik, sayangnya tidak bijak seperti pendahulunya.
Adry tahu bahwa berkah dewata di wilayah bercahaya hanya pertunjukkan semata. Di belahan dunia mana pun, terdapat berkah yang tak terlihat namun jiwa-jiwa dewata lain dapat mendengar jelas.
“Pergi! Temukan siapa yang diberkahi kemenangan perang dan bawa ke istana. Jangan sampai musuhku mendapatkannya terlebih dulu!” perintah Adry menggema ke seluruh istana utama.
“Bunga-bunga di istana bersemi akan tetap bermekaran, rerumputan di taman tak akan layu ataupun gugur, pepohonan lebat di sekitar memang takkan berbuah bagaimanapun caranya. Kamu tidak perlu mengganggu pemeliharaan taman ini. Kenapa harus mengganggu Aga pagi-pagi sekali sih?” omel Ega panjang lebar. Kesabarannya diuji semenjak Ningrum bangun dan mengganggu ketentraman saudarinya, Aga.
“Mengapa demikian? Bahkan tumbuhan pun harus mengikuti peraturan?” kritik Ningrum. Ucapannya membuat Aga dan Ega terkejut sekaligus tak suka.
“Itu bukan aturan, melainkan norma. Bunga-bunga mekar menandakan hati pemiliknya yang bahagia. Rerumputan yang tak layu meski dipijak merujuk pada keteguhan yang kuat,” sangkal Ega, sementara Aga masih berfokus dalam meditasinya memelihara taman.
“Lantas bagaimana dengan pepohonan? Mengapa tak boleh berbuah? Padahal aku yakin buah pohon-pohon itu pasti akan sangat lezat.” Ningrum mendekati sebuah pohon, menyentuh batang pohon yang kasar namun kokoh.
Sekelebat ingatan sontak memasuki pikiran Ningrum, membekukan waktu, mengingatkan ia pada musim gugur. Tatkala bunga berwarna-warni berguguran, pohon tua itu menjadi saksi bisu ketika putri kecil yang begitu cantik tengah menangis di sudut taman. Lalu datang anak lelaki yang menghiburnya dengan sihir kembang api, memercik dari tangan remaja dan ajaib.
Putri itu sangat menyukai itu. Namun dia tetap bersedih.
“Aku sedih. Ayahanda berkata bahwa aku ditakdirkan menjadi Ratu. Jadi tidak boleh bermain lagi dengan kalian,” adu Putri kecil itu.
Anak lelaki di sampingnya terkejut bukan main. Sebagai putra sang Raja, dialah yang diperuntukkan untuk memiliki takhta. Bagaimana mungkin Putri Jenderal perang sepertinya yang menjadi Ratu.
“Mungkin Ayahandamu salah kira. Kamu pulang dulu dan tanyakan pada Ayahandamu. Bisa saja dia mencandaimu agar kamu rajin belajar!” hibur anak lelaki itu.
Sang Putri pun kembali ke kediamannya. Namun sejak saat itu, Putri itu tidak pernah muncul lagi di luar istana.
Kenangan itu memudar, meninggalkan sebatang pohon yang lapuk dan kering.
“Apa yang kamu lakukan?” marah Ega. Aga yang tengah berkonsentrasi pun kehilangan fokus dan mengerutkan kening.
Ningrum diam. Pemikirannya masih terbayang-bayang akan kenangan yang dilihatnya saat menyentuh pohon.
Aga mendekat, menahan Ega yang terlihat akan menyakiti Ningrum.
“Tunggu!” tahannya. “Pohon itu sendiri yang ingin mati. Kamu jangan berpikir itu perbuatan dia. Ingatlah kalau dia hanya manusia biasa, tidak bisa menggunakan sihir seperti kita. Apalagi sihir mematikan makhluk hidup, itu sihir kegelapan yang terkutuk jika sentuhnya saja dapat melakukan hal itu,” jelas Aga, berusaha melerai.
Ega tak percaya. Ia menggunakan sihir untuk menjerat Ningrum hingga kesulitan bernapas.
“Hentikan!” seruan lembut yang penuh tekanan membuat semuanya berbalik, menghadap Putri Clementine yang memasuki taman istana bersemi.
Dengan tidak hormat, Ega meliriknya lancang.
“Kupikir siapa yang datang kemari. Ternyata sang putri yang memiliki segalanya,” sindir Ega.
Melihat Clementine yang wajahnya memerah, Aga mengulum senyum, menyembunyikan rasa tergelitik Karena tanggapan sang Putri.
“Mohon Putri mengampuni saudari hamba yang tidak sopan. Hamba tidak mengajarinya dengan baik,” Aga menunduk hormat.
Clementine mengabaikan keduanya dan mendekati Ningrum yang terduduk di samping pohon kering, tengah mengambil oksigen sebanyak mungkin.
“Mereka memperlakukanmu dengan buruk. Ayo kita kembali ke istana dingin. Aku akan memberitahu Raja nanti,” ajak Clementine.
Ega menghalangi Clementine yang hendak membawa Ningrum dan membantunya berdiri.
“Putri, kamu tidak bisa membawanya pergi karena kami telah mengikat jiwanya ke istana ini. Itu adalah perintah Yang Mulia,” hadang Ega.