Sinar bulan takut. Enggan melewati batas jeruji yang dilingkari bunga-bunga ungu lembayung. Kegelapan di dalam sana tengah menyembunyikan maut. Jeritan kematian alam bawah yang berdengung.
“Simpan keraguanmu dan masuk,” ucap Brigit menghalaunya.
Perlahan, selangkah demi jarak yang menantang, Febri menunjukkan wujud aslinya di depan peti mati bercorak berlian ungu.
“Apa ini?” Febri serius bertanya. Ketakutan merambati hati gadis itu.
Brigit tersenyum simpul, menarik tutup peti itu hingga terbuka.
“Ini adalah hadiah yang aku terima saat diangkat menjadi Tuan Kekelaman,” kata Brigit bangga.
Febri terkesiap hingga kedua kakinya lemas. Di dalam peti itu terbalik seorang gadis bersurai hitam, mengenakan gaun kembang ungu kebiruan yang dikubur beberapa bunga anggrek dan lavender. Seumur hidup, dia tidak pernah melihat rupa yang begitu cantik sekaligus mengerikan.
“Makhluk apa ini? Tidak ada tanda kehidupan dalam dirinya, namun aura kematian yang kuat menyeruak,” heran Febri. Belum pernah menemui makhluk yang meninggal saat lahir dan tetap bertumbuh seakan hidup.
“Aku tidak perlu menjelaskan terlalu banyak. Tugasmu adalah merubah rupanya hingga mirip seperti orang yang aku inginkan.” Brigit menutup informasi, membuat Febri bertanya-tanya.
Dengan sihir yang menakjubkan, sebuah gulungan berpita emas muncul di tangan Brigit.
“Berikan dia rupa seperti ini.” Brigit menyerahkan gulungan itu kepada Febri.
Setelah menerimanya, Febri mendekati peti mati itu dengan rasa takut.
“Kekuatanku hanya dapat bertahan seminggu padanya. Selain itu, darah diperlukan untuk mengubah sel. Apakah kamu menyanggupi syarat ini?
“Kau bisa gunakan darahku. Tapi aku akan segera mengirimmu ke tempat temanmu setelah kamu mengubah wujudnya. Karena ia akan bangkit dan membunuh siapa pun di sekitarnya,” tawar Brigit sekaligus memperingatkan.
Febri mengangguk, membuka gulungan lukisan di tangannya. Matanya seketika membelalak dan mulut hampir ternganga. Ia tidak menyadari kecurigaan Brigit akan ekspresi yang ditujukan pada lukisan mendiang kekasih Brigit.
“Mari kita lakukan secepatnya,” ucap Febri seraya menggulung kembali, menyerahkan pada Brigit.
Proses perubahan itu berlangsung cepat. Dalam hitungan detik, Febri telah menghilang dari tempat itu.
Gadis bak boneka dalam peti itu bangkit, menjatuhkan beberapa kuntum bunga layu dan menjadikan gaunnya kotor. Manik mata sedelinggam kejingga memantulkan cahaya sinar bulan di ujung kegelapan.
Brigit takjub. Gadis di hadapannya sungguh mirip dengan mendiang kekasihnya.
“Rencanaku pasti akan berhasil.” Tawa Brigit mengiringi kelelawar yang terbang berpencar di sepertiga malam.
Tempat gelap itu, tak ada yang tahu kapan siang dan malam bertakhta. Makhluk-makhluk terkutuk itu terlalu lelah memikirkannya.
Febri berteleportasi ke taman lili paris yang jauh dari kunjungan para bangsawan maupun dayang, mencari tahu energi gelap di ujung penglihatan, sampai ia menemukan siluet seseorang tipe lingkar bunga.
“Ningrum!” panggil Febri sambil menepuk bahu gadis yang berdiri menatap kosong kabut hitam di Timur menenggara. “Apa yang kamu lihat?”
Dengan bahasa yang rumit, Ningrum berucap, “Keberadaan dunia dalam perseturuan, alam semesta tengah berada dalam perundingan. Dunia bahwa telah campur tangan, Dewa telah menurunkan berkat. Pembunuhan masal tak terelakkan dan kejatuhan terdalam akan berpuncak di tengah ribuan jiwa duka. Apa yang diambil akan dikembalikan.”
“Apa yang kamu katakan, Ningrum?” tanya Febri bingung, melihat temannya bergumam sendirian.
Ningrum tersadar ketika air mata membasahi pipi, tercekat dengan kehadiran Febri di samping. Tanpa basa-basi, dipeluknya Febri erat, menumpahkan kesedihan dan keputus-asaan yang merambati.
“Ada apa denganmu? Adakah seseorang menyakitimu?” khawatir Febri, meneliti ujung rambut hingga ujung gaun. “Ayo kita keluar dari sini. Aku bisa membawamu pulang,” bujuk Febri.
Menolak, Ningrum menggeleng berulang kali, menutupi wajah dengan kedua tangan.
“Aku tidak bisa meninggalkan tempat ini. Ada belenggu yang merantaiku, memaksaku melakukan keinginan mereka,” ucap Ningrum.