Beberapa prajurit memasuki ruang istana, melaporkan kepada Raja yang sedang sibuk berdiskusi dengan para bangsawan demi melawan pemberontakan.
Adry yang merasakan kecemasan para prajurit istana dingin itu takjub dengan kesetiaan mereka yang berani mempertaruhkan nyawa demi menyampaikan informasi. Namun bukan berarti Adry akan iba. Setelah mendengarkan kabar yang dirasanya tak terlalu penting tentang Ningrum memasuki istana dingin, kedua prajurit di depannya mati.
“Apakah ada hal lain lagi yang ingin kalian laporkan sebelum lenyap?” tanya Adry emosi.
Prajurit-prajurit yang menunduk diam, dihabisi sekaligus oleh satu tebasan pedang Adry.
Raja muda itu tak tahu, desas-desus dari kejadian itu menyebar hingga ke luar istana utama. Tentang Raja tak setia yang melindungi wanita lain meski wanita itu dicurigai telah meracuni Putri Clementine, permaisuri yang telah menemaninya menjaga kedamaian rakyat selama ini.
Sampai ke telinga penguasa kegelapan, makhluk terkutuk sekaligus mulia yang dikaruniai kekuatan Dewata perang.
“Tuan Kekelaman, kebenaran berita itu telah keluar dari istana utama. Sekarang adalah saat uang tepat untuk mengguncang kekuasaan para bangsawan,” ucap salah satu pelaksana, membuat semua makhluk di ruangan itu tertawa jahat kecuali satu makhluk.
Brigit termenung bosan di singgasananya seperti orang yang tidak dipedulikan. Padahal dia baru saja membuat seluruh pengikutnya khawatir dan bermuram durja melihat ia tertidur di tengah rapat.
“Tuan, apakah ada yang bisa hamba lakukan untuk meringankan bebanmu?” ujar pelayannya cemas.
Kesetiaan para pengikut itu begitu tinggi, melebihi dendam kesumat yang melahap jiwanya. Tetapi demi omong kosong bernamakan cinta, dia hampir saja menyia-nyiakan restu alam semesta.
“Sebarkan perintahku pada para pengikutku yang setia. Tidak ada yang diizinkan mengangkat pedang sebelum Rasa memasuki kawasan kita!” titah Brigit membingungkan pelayannya.
“Tuan, jika boleh hamba tahu, hal apa yang membuat Tuan melewatkan kesempatan ini?” Tidak menuduh, pelayan itu bertanya dengan keyakinan bahwa pemimpinnya tak akan mengambil keputusan yang salah.
“Kau akan tahu sendiri saat melihatnya.” Brigit menoleh ke belakang takhta, menepuk tangan tiga kali. “Violet, keluarlah!”
Seorang gadis yang sebelumnya berbaring di dalam peti, muncul dari balik pintu dengan gaun hijau nan megah.
“Yang ... Yang Mulia Ratu,” ucap pelayan itu tergagap, bertekuk lutut di hadapan Violet yang memiliki paras Azalea, calon istri Raja yang diberitakan peramal istana.
Brigit tertawa keras hingga penjaga di luar terperanjat.
“Pelayan, kau boleh menghormatinya. Tetapi dia bukan Putri Azalea, melainkan Violet yang diubah wujudnya. Ingatkah kau akan hadiah yang kuterima itu?” tanya Brigit memastikan.
Pelayannya gemetar, mundur dalam posisi berlutut tanpa berani bertatapan dengan Violet. Dia bangun dan hampir berbisik pada Brigit.
“Maksud Tuan, hadiah yang membuat hamba sekarat dan akan lenyap jikalau Tuan tidak menghentikan?”
Brigit mengangguk sembari tersenyum. Saat Violet dipanggil mendekat, dengan patuh gadis itu menarik ujung gaunnya. Pelayan itu segera menghindar, sangat ketakutan meski tidak ada lagi aura kegelapan dari alam bawah.
“Ini waktu yang tepat untuk melakukan tugasmu.” Brigit menoleh. “Pelayan, panggilkan kusir di perbatasan dan minta dia antarkan Violet ke istana Raja,” perintah Brigit.
Kereta kuda yang sederhana melaju, membelah keramaian kota. Para penduduk bertanya-tanya, siapakah gerangan bangsawan dari luar kota yang tidak memiliki penjaga, hanya seorang kusir.
“Bolehkah berhenti sebentar? Aku ingin melihat sesuatu,” tanya Violet antusias.
Kusir itu tidak berhenti, namun memelankan keretanya. “Maaf, Nona. Tuan tidak mengizinkan Nona menampakkan diri ke luar. Mohon Nona lihat secukupnya saja dari balik tirai.”
Violet mengerti. Dia membuka sedikit tirai kereta dan melihat seorang pria yang berdiri di bawah pohon dan menatapnya. Terburu-buru, Violet menutup kembali dan meminta Pak Kusir melajukan kereta.
Ketenangan di dalam istana bagai impian yang dirindukan oleh semua orang. Biar di sudut terjauh istana sekali pun, jiwa-jiwa yang mengabdi tak berani mengangkat kepala.
“Apa saja yang kalian kerjakan sampai tidak ada seorang pun yang tahu bahwa Permaisuri kembali diracuni!” murka Adry, melempar apa pun yang berada di atas meja.
“Panggil Tabib kemari!”
Terpincang-pincang, si Tabib wanita masuk dan bersimpuh di hadapan Adry. “Yang Mulia, tolong jangan bunuh hamba!” pinta Tabib itu terengah-engah.
Adry beranjak, frustasi melihat tabib istananya seperti itu.
“Apa-apaan ini?” tanya Adry.