Sore hampir habis dengan hidangan kedamaian yang disuguhkan langit. Menjadikan ini sebagai waktu yang tepat untuk Vara merampungkan tulisan cerita pendeknya yang sudah ditulis sejak seminggu ini.
Seminggu ini—ah, tepatnya sejak lulus dari SMK, pikirannya benar-benar penuh. Hari-harinya dihabiskan untuk mencari serta mengikuti tes bekerja di sebuah industri elektronik. Sedangkan perasannya tetap menggerakkan agar dia terus menjalankan hobinya; menulis cerita pendek.
"Gimana, bu. Seleksi kerja Vara?" kata seseorang di sambungan telepon yang di-loudspeaker.
Suara obrolan di telepon itu berasal dari ruang tamu. Dengan rumah berukuran mungil, suara obrolan antara ibu dan abangnya terdengar jelas.
"Enggak tau, Mas. Capek ibu ngurusin adekmu."
Vara yang mendengar ucapan ibunya, bergegas meninggalkan aktivitas menulisnya. Dengan keras dia menutup pintu kamarnya.
Sekarang dia sudah berhadapan dengan ibunya yang kaget dengan apa yang dilakukan anak bungsunya itu.
"Apa sih, kok banting-banting pintu gitu?" tanya ibunya
“Kalau enggak mau ngurusin Vara, ya udah... enggak usah urusin Vara lagi,” jawab Vara dengan nada marah. “Vara bisa kok, atur hidup Vara sendiri.” Katanya sambil berlalu menuju pintu ruang tamu.
“Mau ke mana kamu?”
Vara berhenti di ambang pintu, menatap ibunya tajam dan menjawab, “pergi dari rumah ini,” katanya dengan emosi yang sudah di puncak.
Ibunya berdiri. “Jangan macam-macam ya... kamu!”
Anak bungsunya itu menatap dengan enggan. “Kan ibu sendiri yang bilang enggak mau urus Vara lagi.”
Setelah mengucapkan kalimat itu Vara meninggalkan rumah. Hal itu dibiarkan oleh ibunya. Karena ibunya yakin, itu hanya rasa marah sesaat Vara. Jika rasa marahnya sudah lenyap, dan lelah berada di luar rumah sudah hadir, anak bungsunya itu pasti akan pulang ke rumah.
*
Embusan napas untuk menetralkan perasaan, ikut menyumbang riuh di taman tempatnya melarikan diri.
Di sore yang sudah sepenuhnya habis ini, satu persatu mulai meninggalkan taman. Menyisakan Vara dan sekelompok anak perempuan yang sedang terbahak membahas pengalaman pertama sekolah di tingkat atas.
“Apakah kebiasaan waktu sekolah, masih dilakukan sampai sekarang?”
Suara berat seorang cowok yang sangat lekat dalam pendengarannya, menolehkan arah pandang Vara ke sumber suara.
“Kok kamu ada di sini? Bukannya harusnya ada di Malang?”
“Dan, satu lagi kebiasaan lo. Menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.”
Cowok itu tersenyum simpul lalu duduk di sebelah Vara. “Lagi ada masalah, ya?”
Vara mengembuskan napas dengan kasar. Lalu memberikan sebuah gelengan kecil.
“Lo kalau seneng, enggak pernah ke tempat ini. Magrib-magrib gini lagi,” protes Farrel—sahabat Vara sejak SMP.