Setiap remaja pasti pernah mengalami yang namanya cinta monyet.; Ada yang berawal dari suka saat bertemu pertama kali, cocok melalui pertemanan, ada yang lanjut hingga dewasa, ada juga yang bertepuk sebelah tangan. Ya, salah satunya aku sendiri, aku mengalami cinta monyet dimulai dari saat aku berada di sekolah dasar. Aku menyukai sahabat-ku sendiri.
***
Suara alarm dengan alunan lagu Alan Walker – Faded terus berbunyi di pagi hari, mengusik diriku yang masih terbaring di tempat tidur. Badanku menggeliat kesal di kasur kesayangan, "Duh, suara apaan sih!"
Masih tetap berbunyi, dengan setengah sadar aku meraba sekitar kasur mencari sumber bunyi itu. Berhasil menggenggam, mataku pun terbuka lebar saat melihat layar hand-phone yang menunjukan waktu sekarang ini.
"Astaga, Jam 7 kurang 15!"
Kini aku telah sepenuhnya sadar. Dengan terburu dan heboh, aku segera bangun dari kasur dan mempersiapkan diri untuk pergi ke sekolah. Mandi secepatnya, memakai seragam secepatnya, memasukan buku seadanya ke dalam tas, tak peduli soal penampilan hari ini yang penting sampai sekolah dengan tidak terlambat.
Aku melihat layar hand-phone lagi sebelum meninggalkan kamar, "Bagus, masih 5 menit!"
Setelah itu aku segera meninggalkan rumah kos dengan berlari secepat mungkin. Ya, aku tinggal sendirian sebagai anak kos. Kondisi rumah asal yang cukup jauh dari tempat bersekolah membuatku terpaksa hidup sendiri. Setiap harinya aku harus berjuang dengan mandiri menyelesaikan kesibukan sekolah. Rumah kosku memang tak jauh dari sekolah, malah sangat dekat. Tapi entah kenapa selalu saja aku terlambat bangun dan membuat awal hariku jadi tak berjalan dengan baik.
Saat tiba di depan sekolah dan melihat gerbang utama masih terbuka, aku langsung bernafas lega. Lelah berlari, aku berjalan memasuki lorong sekolah hingga ke lantai 2 dimana kelasku berada.
"Nah itu Erlin!" Terdengar suara sambutan Agatha yang sudah duduk bersama Alexa di kursi lorong kelas.
"Nggak sekalian nelat aja, Lin?" ledek Alexa.
Aku tertawa kecil, "Haduh, udah bersyukur tahu nggak telat."
Agatha dan Alexa adalah kedua sahabat-ku. Mereka memang selalu berduaan nongkrong di bangku lorong kelas setibanya di sekolah. Setiap hari dan setiap jam istirahat, bangku di lorong kelas ini adalah tempat favorit kami bertiga untuk mengobrol.
Aku ikut duduk di samping Agatha, "Amelia mana?"
"Tuh, dalam kelas. Sampai sekolah dia langsung masuk kelas nggak keluar," jawab Agatha. "Dia belum ngerjain PR."
Seketika aku tertawa kecil membayangkan Amelia. Pasti reaksi panik Amel sangat lucu saat tahu dia belum mengerjakan PR. Satu sahabat-ku lagi adalah Amelia atau biasa dipanggil Amel. Diantara Agatha, Alexa, dan Amelia, akulah yang berbeda kelas sendiri. Aku anak jurusan IPS, sedangkan mereka bertiga anak jurusan kelas IPA. Tetapi walau kami berbeda kelas, itu tidak menghalangi kami untuk terus berkumpul ketika ada kesempatan.
"Yaudah sana masuk kelas dulu, ntar nggak dapat tempat duduk lho." ucap Agatha padaku.
"Oke deh." Aku berniat berjalan pergi menuju kelasku ketika ucapan Agatha menghentikan langkah-ku.
"Eh, Jeremy juga baru dateng."
Aku menoleh ke arah Agatha dan Alexa menatap. Ya, Jeremy dengan ransel hitam putih khas-nya sedang berjalan dari arah yang berbeda dariku. Terlihat dia berjalan dengan terburu, dia juga nyaris terlambat sepertiku. Mata-nya terfokus menuju ke kelas hingga dia menyadari tatapan-ku. Dengan segera aku menghindari tatapan itu dan berlari menuju kelas-ku.
Jeremy. Laki-laki berhobi main sepak bola, kulit-nya putih namun dapat dengan mudah berubah menjadi coklat kemerahan ketika terkena panas. Dia-lah laki-laki yang menjadi cinta monyet-ku sejak sekolah dasar – yah, tepatnya perasaan itu makin menjadi saat aku menginjak sekolah menengah. Aku dan Jeremy sudah saling kenal sejak kecil. Kami sering berkumpul dan bercanda di kelas dengan teman yang lain, makan di kantin bersama-sama, menunggu jemputan sepulang sekolah bersama; namun diantara kami berdua ada sesuatu yang lebih, Jeremy membuatku nyaman – setidaknya itu yang kurasakan. Ketika masuk ke sekolah menengah, tepatnya kelas 8, aku tidak mengerti kenapa kami merenggang – mungkin setelah dia berkata dia menyukai teman satu kelas yang semenjak itu membuatku sadar bahwa aku telah lama suka padanya.
***
Memasuki kelas, aku langsung disambut dengan suara ricuh dalam kelas. Seperti biasa, di kelas IPS selalu ramai di setiap saat. Padahal ini masih pagi, tapi kelas-ku sudah ramai dengan berbagai celotehan. Di kelas ini banyak anak terkenal di kalangan guru dan tiga angkatan – anak-anak yang unik si pembuat onar. Maklum anak kelas IPS; pusat dari tonjolan seangkatan yang bukan karena kecerdasan-nya. Haruskah aku bangga atau sedih dapat sekelas dengan orang-orang terkenal ini?
"Wuih, tumben banget nggak telat anak satu ini." Kenan menyambut-ku yang sedang berjalan menuju kursi kosong – di baris depan, tepat berhadapan dengan bangku guru. Anak IPS selalu menghindari kursi barisan depan dan aku sering jadi korban pengguna-nya. "Jangan-jangan belum mandi?" ejek-nya.
"Kurang ajar. Ya jelas udah lah, nih bau nih." Aku mendekatkan ketiak-ku pada Kenan, dia malah terbahak sambil menghindari.
Kenan. Kenan adalah ketua kelas dan kapten basket di sekolahku. Dia berkulit hitam kecoklatan bagai biskuit mari gosong dengan badan tinggi tegap dan atletis. Selain memiliki selera humor yang tinggi, dia juga laki-laki yang baik dan bertanggung jawab.
"Hei, hei udah dong, jangan ganggu Erlin kaya gitu lah." tiba-tiba Rheza datang bergabung. "Kamu nggak apa kan, sayang?" ucap Rheza dengan wajah sok perhatian.
"Apaan sih, Za," Aku menatapnya jijik. Terdengar suara tawa Kenan ditujukan pada Rheza dan Rheza meringis lebar melihatkan lesung pipi-nya itu.
Rheza. Rheza memang selalu memanggil perempuan dengan ‘sayang’ ke siapapun itu. Dia berpikir dengan memanggil sayang, perempuan akan langsung luluh padanya, namun bagiku itu sebaliknya. Rheza adalah laki-laki yang sok kegantengan – walau memang wajahnya enak dipandang. Dia paling suka gombal dan merayu perempuan, tapi nggak sedikit juga yang terjebak pada rayuan-nya. Dia dikenal sebagai playboy paling jago di angkatan-ku. Lesung di pipi kanan-nya itu membuat senyumnya semakin manis dan ditambah dengan tatapan mata yang intens sering membuat perempuan terlena atau baper.
Rheza dan Kenan kembali ke tempat duduk mereka di belakang. Aku menoleh ke belakang sejenak untuk melihat situasi kelas. Aku ingin duduk belakang tapi mau bagaimana lagi, aku terlambat lagi. Untuk bulan ini, wali kelas belum mengatur tempat duduk, sehingga anak-anak bisa dengan bebas duduk dimanapun sesuai kedatangan mereka.