Aku terbangun pukul 5 pagi. Walau masih mengantuk, aku tetap harus bangun untuk mempersiapkan diri ke sekolah. Aku merapikan seragam di malam sebelumnya, menyiapkan bekal sendiri, belum lagi aku harus membantu Ibu menyiapkan seragam sekolah adik; ini semua menjadi rutinitas-ku setiap pagi.
Setiap hari, aku pergi ke sekolah diantar oleh Ibu dengan motor. Karena bangun-ku yang cukup pagi, hampir setiap hari aku menjadi orang pertama yang tiba di sekolah. Merasa tak nyaman jika terus berdiam di kelas sendirian, aku memilih untuk menunggu teman-teman di kursi lorong kelas hingga mereka tiba. Karena saking terbiasa, tanpa sadar aku menjadikan kursi lorong ini tempat favorit-ku.
Tak lama mulai ada beberapa anak berdatangan, salah satunya Alexa.
"Alexa." Aku menyapa dengan senyum.
"Hei," tanggap Alexa dengan wajah datar. Alexa masuk ke dalam kelas untuk menaruh tasnya, tak lama dia ikut duduk di samping-ku.
"Udah ngerjain PR Fisika?" tanya Alexa.
"Syukur udah. Astaga susah banget, Lex." Aku mengeluh lelah.
Aku dan Alexa yang paling sering membahas hal serius, salah satunya pelajaran. Walau pendiam dan kadang judes, Alexa sangat pintar. Aku seringkali bertanya padanya soal tugas dan beberapa hal di pelajaran yang aku tidak mengerti, begitu juga sebaliknya.
Kalau sudah ada teman begini, walau tak banyak yang dibicarakan, waktu jadi terasa cepat. Rasanya baru saja Alexa datang, banyak anak-anak lain yang berdatangan. Aku melihat jam yang terikat di tangan kanan-ku, jam menunjukan pukul 6.40.
"Amelia sama Erlin mana ya?"
Alexa tersenyum, "Paling mereka telat lagi."
Tak lama terlihat Amelia datang dengan setengah berlari, ekspresi wajahnya panik. Tanpa menyapa, dia langsung masuk ke dalam kelas.
"Ketebak deh dia nggak tahu soal PR Fisika," ucap Alexa membuatku tertawa setuju.
Hampir jam menunjukan tepat pukul 7, baru terlihat gelagat Erlin. Setelah menyapa dan menyuruh Erlin masuk ke dalam kelas, aku melihat Jeremy yang juga baru datang. Dengan spontan aku menyapa Jeremy yang membuat Erlin berhenti melangkah. Sebenarnya aku sudah sangat hapal kisah antara Erlin dan Jeremy – sampai poin dimana alasan Erlin menghindar dari Jeremy. Jadi tindakan-ku barusan adalah antara sengaja dan tidak sengaja. Jujur dalam hati aku mendukung hubungan Erlin dan Jeremy bila mereka bisa lebih dari teman.
Jeremy adalah teman satu kelasku, Alexa, dan Amelia. Aku baru mengenal dia saat SMP, ketika Erlin dan Jeremy masih lumayan dekat. Erlin yang paling sering bercerita padaku masalah perasaan-nya. Aku turut prihatin atas perasaan tak terbalasnya dengan Jeremy; itulah mengapa terkadang aku ingin sedikit membantunya.
Setelah melihat Erlin masuk ke dalam kelas, tak lama bel sekolah berbunyi. Aku-pun segera masuk ke dalam kelas bersama Alexa.
***
Mendengar bel istirahat berbunyi, aku segera merapikan buku di meja. Melihat Alexa dan Amelia yang masih sibuk menulis, aku langsung pergi sendiri menuju kelas Erlin membawa sekotak bekal. Terlihat kelas-nya baru akan keluar untuk istirahat. Aku menunggu dekat pintu kelas Erlin, mengintip situasi di dalam melalui kaca pintu berbentuk trapesium. Tak lama anak-anak dengan semangat melangkah keluar mendahului sang guru. Aku reflek sedikit menjauh dari pintu – agar tidak tertabrak.
"Eh, Agatha!" sapa Kenan saat keluar dari kelas. “Erlin di dalem tuh.”
"Iya, ngerti." jawabku.
"Oi, Ken," Rheza menepuk bahu Kenan dari belakang. “Ke kantin bawah aja.”
Kemunculan Rheza membuatku terkejut. Rheza berhenti menatapku, aku juga berhenti menatapnya.
"Oke, ayo kebawah." Suara Kenan menggugah pandangan kami yang saling menatap.