Fracture

Cornelius Zii
Chapter #2

Bab 1: Mahluk Yang Berdosa

Sore hari itu, mentari oranye bersinar dengan hangat. Raden, seorang anak SMA sedang duduk, memancing di sebuah kolam dengan ayahnya di sebelahnya. Mereka duduk, diam, mengobrol, dan sesekali memakan roti yang mereka bekal dari rumahnya. Joran pancing mereka pegang kuat-kuat.

"Ayah, seberapa lama lagi kita akan dapat ikan?" bisik Raden dengan wajah yang kini tampak mulai bosan.

Ayahnya berfokus pada pandangan di depannya. Airnya mengeriak sedikit-sedikit. Ia mengunyah roti di tangan kanannya untuk mengatasi ketegangannya. Joran milik ayah anak tersebut mulai bergerak-gerak sendirinya.

"Sepertinya ayah yang dapat duluan. Lihat dan pelajari ini," ucap ayahnya sambil memegang joran pancing yang kini mulai berat. Ayahnya memegang kuat-kuat joran tersebut sambil menggulirkan reelnya dengan cepat.

Raden begitu semangat melihat ayahnya menggulirkan reel-nya. Mulutnya terbuka lebar-lebar. Sementara matanya terbuka bulat.

"Ayo ayah, lebih kuat lagi! Sedikit lagi bisa tuh!" ucap Raden dengan semangat.

Ayahnya menggulir-gulirkan reel-nya lebih cepat lagi. Namun, ikan yang menyangkut tersebut semakin kuat menarik kailnya.

Beberapa menit kemudian, ayah anak tersebut mulai menggulir-gulirkan reel-nya lebih cepat dan lebih cepat! Urat-urat dari lengannya mulai timbul. Kepalanya mulai dicucuri keringat pelan-pelan.

Sampai... akhirnya ikan tersebut pun berhasil ditariknya.

Nafas ayahnya masih terengah-engah. Namun, dirinya tampak tersenyum cukup lebar melihat ikan yang menyangkut di kailnya.

"Hehe, kayanya malam ini bakalan makan enak dengan ikan nila ini," ucap ayahnya sambil melepaskan ikan tersebut dari kail pancing, lalu menyimpan ikan tersebut ke sebuah ember.

"Wahaha, jago banget dah ayah. Kapan yah aku?" tanya Raden sambil melihat ember nya yang berisi air menggenang tanpa ikan.

"Suatu hari kau pasti dapat, nak. Berhubung sebentar lagi mau malam, mending kita pulang saja. Gak apa-apa, namanya juga usaha, pasti ada banyak gagalnya ketimbang berhasilnya, hahaha," ucap ayah Raden sambil mengangkat embernya.

Raden menghembuskan nafasnya.

"Ya sudah..."

Mereka berdua berjalan pulang dengan pelan. Ayah Raden dan Raden sendiri memikul joran pancing di bahu kanannya. Sementara tangan kanannya memikul ember. Langkah mereka menyusuri beberapa selokan-selokan kecil yang dihuni beberapa tikus. Raden sempat menutupi hidung saking baunya selokan-selokan kecil yang ia lewati.

Di tengah-tengah perjalanan, mereka mengobrol sambil melihat suasana pinggiran kota yang penuh asap knalpot. Beberapa kendaraan yang melayang dengan cepat pun berlalu lalang. Suasananya sangat hingar bingar setiap sore menjelang malam tiba.

"Gimana tadi kamu di sekolah? Lancar tidak?" tanya ayah Raden ketika berjalan seraya menatap wajah Raden.

"Yah... lancar-lancar aja sih sebetulnya. Cuman memang lama-kelamaan terasa bosen juga harus sekolah, pulang, tidur, dan besoknya sekolah lagi," ucap Raden sambil berjalan dan memasang wajah cemberut.

"Ahaha, kau pasti bosan, ya? Apa yang kau bosan, nih? Kau mau main? Apa waktu mainmu kurang?" tanya ayah Raden kembali.

"Bukan kurang main sebetulnya. Aku pengen sesuatu yang menantang semacam olahraga yang bisa betul-betul menggerakkan tubuhku," jawab Raden.

"Ayah paham, kau jadinya suka bola atau basket?" tanya ayah Raden kembali dengan senyum.

Raden menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bukan keduanya, tapi entahlah, mungkin akhir-akhir ini memang aku butuh sesuatu yang baru," jawab Raden.

Percakapan mereka pun berhenti sejenak. Ayah Raden memikirkan sesuatu.

"Ayah paham. Kamu memang mau dewasa, kan? Mau lulus sekolah juga sebentar lagi?"

"Iya, aku memang sebentar lagi mau lulus sekolah."

"Berarti memang sudah saatnya ayah mengajarimu sesuatu yang berguna bagimu, kan?" Ayah Raden menghembuskan nafasnya. "Ayah selama ini terlalu fokus bekerja sampai-sampai lupa denganmu. Maaf, ya, sekarang mungkin kau sudah tepat buat ayah ajari," lanjut ayah Raden.

Raden menaikkan alisnya. "Memangnya ayah mau mengajari apa?" tanya Raden dengan wajah yang sangat penasaran.

"Silat, kau tahu tidak ayah dulu juara silat nomor 1 sedunia?" kata ayah Raden.

"Juara 1 sedunia? Pft, ayah yang bener aja," ucap Raden yang tidak percaya mendengar penjelasan ayahnya.

"Haa... ayah udah menduganya, pasti kau memang tak percaya. Tak apa, nanti ayah tunjukan beberapa tropi dan medalinya yang masih ada di gudang. Ayah tetap bakalan mengajarimu," ucap ayah Raden.

"Bener nih gak akan tipu-tipu lagi?" tanya Raden meyakinkan ayahnya.

"Ahaha, ayah janji. Janji pasti mengajarimu bela diri ini," ucap ayah Raden sambil merangkul bahu Raden.

Di tengah-tengah perjalanan, handphone ayah Raden mendadak berdering. Mereka pun menghentikan langkahnya. Ayah Raden meminta Raden menunggunya. Ia pun mengangkat telponnya, kemudian sedikit menjauh dari Raden.

Raden menunggunya selama beberapa menit. Kepala ayahnya mengangguk-angguk sambil berkata "Baik pak" secara terus-menerus. Tak lama kemudian, telepon tersebut ditutup. Wajah ayah Raden tampak agak muram. Ia kemudian mendekati Raden lagi.

Lihat selengkapnya