Fragile Heart

Angela Nathania Santoso
Chapter #2

Bab 1

Pagi itu, di sebuah bank yang cukup ternama di Indonesia, masih cukup lengang. Jam menunjukkan pukul 7.30, yang berarti masih ada waktu 30 menit sebelum bank tersebut membuka layanannya kepada nasabah. Pintu kantor memang sudah dibuka, tetapi juga masih belum banyak karyawan yang hadir. Baru sekitar 25 persen karyawan yang sudah sampai ke kantor, di pagi itu.

Kantor pusat bank tersebut berada di sebuah gedung dengan sepuluh lantai. Terletak di pinggir jalan utama di kota Jakarta, gedung tersebut terbilang megah dibandingkan gedung yang lain. Di sisi luarnya, semua terbuat dari kaca. Di atas gedung tersebut, terdapat papan nama besar bank tersebut. Ketika suatu perusahaan berkembang, pasti akan ditunjang dengan sarana yang baik pula.

Bank ini memiliki banyak cabang di seluruh Indonesia. Di Jakarta, di kantor pusat, karyawan memang tidak terlalu banyak. Transaksi untuk para nasabah lebih banyak dilakukan di kantor cabang yang dekat dengan tempat tinggal para nasabah. Di kantor pusat, lebih banyak digunakan untuk keperluan training, penganalisaan data dari seluruh cabang di Indonesia, dan juga untuk melakukan rekrutmen karyawan baru.

Seorang perempuan berumur 20-an datang di pagi itu, dengan langkah yang mantap. Memang bukan pertama kalinya ia datang ke tempat ini. Sebelumnya, ia sudah datang tiga kali ke tempat ini. Yang pertama untuk menyerahkan berkas rekrutmen, yang kedua untuk tes dan wawancara, yang ketiga untuk mengambil segala keperluan yang diperlukan di kantor tersebut.

Sebagai karyawan baru, dia tidak ingin mencoreng nama baiknya sendiri, apalagi masih di hari pertama ia bekerja. Ia sudah sampai di kantor 30 menit lebih awal dari jam masuk kantor. Datang lebih awal memang sudah merupakan kebiasaannya, bahkan sejak zaman dia sekolah. Ternyata kebiasaan baik itu bisa diteruskannya, meskipun sekarang ia tinggal sendiri, jauh dari orang tua. Perempuan tersebut sudah merantau ke Jakarta sejak kuliah. Orang tuanya yang tinggal di Yogyakarta sudah memberikan restu kepada anak semata wayangnya, untuk merantau demi mencari ilmu dan pekerjaan yang sesuai dengan apa yang disukainya.

Perempuan itu mulai melangkah memasuki pintu gerbang bank tersebut. ia menarik nafas panjang. Hari pertama, semoga semuanya berjalan menyenangkan. Ia melangkahkan kakinya menuju lobi gedung tersebut. Sebelum masuk ke lobi, ia melewati satpam di pintu masuk kantor. Ia menunjukkan kartu karyawan yang didapatkan pada waktu ia ke kantor tersebut untuk ketiga kalinya.

“Mbak Alena, ya?” satpam yang bertugas di pintu masuk mencoba mengkonfirmasi. Alena hanya mengangguk. Ya, perempuan tersebut adalah Alena. setelah lulus dari kuliah, ia sangat beruntung bisa langsung diterima di bank tersebut, menjadi staf HRD. Hitung-hitung, ia bisa belajar untuk menerapkan ilmu yang sudah didapatkannya pada masa kuliah, dan juga mendapatkan pengalaman yang baru.

Satpam tersebut mengembalikan kartu karyawan kepada pemiliknya. Alena menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Alena langsung melangkah masuk ke dalam bangunan tersebut. 

Dengan kemeja biru tua, rok hitam selutut, dan sepatu berhak rendah yang ia kenakan, Alena melangkah dengan sedikit gugup ke dalam kantor tersebut. Meskipun dia sudah mensugesti dirinya untuk memikirkan betapa menyenangkannya hari pertama, namun tetap saja ia masih merasa khawatir. Bagaimana jika dia mendapatkan atasan yang galak? Bagaimana jika teman-temannya tidak suka kepadanya? Bagaimana, bagaimana? Segala kekhawatiran itu ada di benak Alena. Alena kembali berusaha untuk mengenyahkan segala pikiran tersebut, dan fokus untuk menjalani hari ini.

Pintu otomatis terbuka lebar, dan Alena melangkah masuk. Ia mengamati sebentar lobi bank yang cukup besar itu. Di lobi tersebut teradapat banyak mesin, mulai dari ATM, mesin untuk mengambil antrian, dan beberapa meja customer service. Keadaan lobi pagi itu masih cukup lengang, karena memang belum mulai jam kerja. 

Alena segera menuju lift, yang terletak di ujung lobi. Ia menekan tombol dengan panah ke atas, ketika sudah sampai di depan lift. Tak perlu menunggu lama, pintu lift terbuka. Ia segera masuk, dan memencet angka tujuh pada panel lift. Lantai tujuh adalah pusat aktivitas di kantor tersebut. Di lantai tujuh terdapat ruang HRD, marketing, accounting, dan bagian IT.

Keadaan di dalam lift tersebut tidak terlalu ramai. Hanya ada dua orang lain, selain Alena, yang sudah berada di dalam lift. Mereka berdua sepertinya dari lantai basement, yang menjadi tempat parkir bagi para karyawan. Salah satu dari kedua orang tersebut memencet tombol lima di panel lift. Alena hanya dapat menerka, mereka bekerja pada bagian apa. Sepertinya mereka bekerja pada bagian legal.

Selama lift naik ke atas, kedua orang tersebut tidak berhenti ngobrol. Dari apa yang ditangkap telinga Alena, mereka lebih banyak membicarakan mengenai berbagai macam merk mobil. Alena hanya dapat menebak, karena mereka menyebutkan beberapa merk mobil ternama yang Alena tahu. Tak berapa lama, suara lift terdengar. Lift berhenti di lantai lima. Kedua orang tersebut masih asyik berbicara, sambil keluar dari lift.

Setelah mereka keluar, Alena hanya sendirian di dalam lift tersebut. Hanya beberapa detik kemudian, terdengar bunyi berdenting. Lift sudah sampai di lantai tujuh. Saat pintu lift terbuka, Alena segera keluar dari lift tersebut, dan melangkah ke arah kanan dari lift, menuju ke ruang HRD. Beruntunglah Alena sudah pernah ke sini sebelumnya, sehingga ia tidak tersesat.

Alena segera melangkahkan kakinya menuju pintu kedua dari ujung lorong. Di depannya tertulis “Human Resources Department”, tempat kerja Alena yang baru. Ia membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam. Di dalam, ruangan masih lengang, belum ada karyawan yang hadir, kecuali manager HRD. Alena mengetahuinya, karena lampu di ruangan manager HRD, yang terletak di ujung kiri ruangan sudah menyala.

Ruangan tersebut tidak terlalu besar, hanya berukuran 4 x 5 meter persegi. Di dalamnya terdapat tujuh kubikel. Masing-masing kubikel ditempati oleh satu orang, jadi yang ada di bagian ini hanyalah tujuh orang, bersama satu manager. Ruangan untuk manager HRD pun tidak terlalu besar.

Karena masih sepi, Alena akhirnya memutuskan untuk beranjak ke ruang manager HRD. Paling tidak, di hari pertama, ia perlu untuk menghadap terlebih dahulu kepada atasannya. Selain itu juga untuk mendapatkan penjelasan mengenai tempat kerjanya dan juga pekerjaan yang akan dia lakukan dalam kesehariannya.

 “Permisi,” Alena mengetuk pintu perlahan. Pintu tersebut terbuat dari kayu, sehingga Alena tidak dapat melihat ke dalam. Di pintu terdapat tulisan “Manager”.

“Masuk,” sahut orang yang ada di dalam.

Lihat selengkapnya