Fragile Heart

Angela Nathania Santoso
Chapter #4

Bab 3

Siang itu, waktu sudah menunjukkan pukul 11.30. Sudah waktunya bagi karyawan untuk beristirahat. Beberapa karyawan di bagian HRD sudah keluar ruangan, dan hendak menikmati makan siang mereka. Alena masih sibuk dengan pekerjaan yang sedang dikerjakannya. Ia hanya ingin segera menyelesaikannya, karena tanggung jika harus ditinggalkan sementara.

“Len, makan yuk,” ajak Kak Maria. Setelah seminggu bekerja di kantor tersebut, Alena sudah mengenal semua HRD yang ada di tempat itu, karena jumlahnya pun tidak terjalu banyak. Salah satu yang akrab dengannya adalah Kak Maria. Ia bisa lebih dekat dengan Kak Maria, karena ia adalah atasan Alena langsung. Selama seminggu ini, dialah yang memberikan beberapa bimbingan kepada Alena mengenai pekerjaan yang harus dilakukannya.

“Oh, udah jam istirahat ya?,” Alena melihat arloji di pergelangan tangan kriinya. Jam sudah menunjukkan pukul 11.45, sudah terlambat 15 menit dari waktu istirahat.

“Lo ini ya, Len. Semangat banget ngerjainnya, sampai lupa waktu,” Kak Maria mengagumi kinerja Alena. Baginya, Alena ini orang yang mau dan cepat belajar, teliti, serta rajin.

“Hehehe, gue aja masih perlu belajar banyak dari lo, Kak,” Alena terkekeh, sambil membereskan berkas-berkas di atas mejanya. Ia memasukkan beberapa kertas yang sempat berserakan di atas mejanya, sesuai dengan tulisan yang tertera di sampul map.

“Gue yakin deh. Lo akan belajar dengan cepat, Len. Paling sih, dua atau tiga minggu lagi, lo udah bisa semua dasarnya,” ucap Kak Maria yakin.

“Jadi malu dipuji sama atasan sendiri. Thank you lho kak. Semua kan berkat lo juga yang udah ajarin gue banyak hal,” ujar Alena tulus. Mejanya sudah rapi, saatnya ambil kartu akses, dan pergi makan bersama Kak Maria.

Mereka berdua segera meninggalkan ruangan HRD yang sudah sepi, menuju ke lift. Bisa dibilang, mereka sudah cukup terlambat untuk menikmati jam istirahat mereka. Karyawan lain sudah bergantian turun sejak pukul 11.30 tadi. Itulah sebabnya, lift saat ini lumayan sepi. Tidak banyak antrean.

Setibanya di depan lift, mereka bergabung dengan tiga laki-laki lain yang sudah menunggu terlebih dahulu. Mereka sedang asyik berbincang mengenai berbagai hal, yang pasti bukan mengenai pekerjaan. Beberapa karyawan memilih untuk tidak membahas pekerjaan di jam istirahat. Menurut mereka, waktu istirahat adalah waktu untuk menceritakan hal yang lain, bukan hanya soal pekerjaan. Setelah melihat satu per satu orang wajah dari ketiga orang tersebut, Alena cukup terkesiap. Ia merasa bahwa ia melihat Nathan, orang yang sebenarnya selalu ia sayangi sampai sekarang ini.

Alena mencoba memberanikan diri untuk menjawab segala keraguannya. Ia akhirnya memutskan untuk mendekati salah seorang dari mereka, dan menepuk pundaknya, “Permisi.”

Orang yang ditepuk pundaknya berbalik arah dan menatap Alena. Wajahnya masih sama seperti yang diingat Alena dulu. Masih sama, masih seorang Nathan yang dicintainya dulu, bahkan sampai sekarang. Setelah Nathan lulus dari universitas, Alena dan Nathan belum sempat bertemu lagi. Alena mulai disibukkan dengan skripsi, sedangkan Nathan mulai sibuk dengan pekerjaan barunya.

“Alena? Lo kerja di sini juga?” Nathan yang baru saja melihat orang yang menepuknya cukup terkejut. Sudah sekitar satu tahun, ia tidak bertemu Alena. Secara penampulan, tidak ada yang berubah dari Alena. Ia masih sama seperti yang diingatnya dulu. Hanya ada yang sedikit berubah dari penampilan Alena, yaitu potongan rambutnya. Terakhir kali mereka bertemu, rambut Alena masih pendek sebahu. Saat ini rambutnya sudah cukup panjang, dan diikat dengan rapi. Nathan sungguh tidak pernah menyangka akan bertemu Alena lagi di tempat ini.

“Hai, Than. Gue kira tadi gue salah ngenalin orang,” Alana hanya tersenyum. Dengan kembali bertemu Nathan, hatinya ingin melepaskan semua perasaan yang selama ini dipendamnya. Hatinya seakan memintanya untuk mengeluarkan semua rasa kangen dan sayang itu. Alena hanya berusaha untuk menekannya, sehingga ia tidak menyebabkannya berbuat sesuati hal yang bodoh, atau yang akan ia sesali nantinya.

“Lo baru aja ya, di sini? Soalnya, gue ga pernah lihat lo sebelumnya?”

Lihat selengkapnya