Semenjak obrolan Rizal dan Alena mengenai pacar Nathan, Alena masih bersikap biasa terhadap Nathan, seakan tidak ada yang mengganggunya sama sekali. Beberapa kali ketika berpapasan, masih saling menyapa, atau sekadar memberikan senyuman. Makan siang pun, mereka masih bersama. Kadang bertiga atau berempat (dengan Rizal maupun Kak Maria), atau kadang juga hanya mereka berdua.
Beberapa kali, Alena dan Nathan memang sempat untuk makan siang hanya berdua. Kak Maria terkadang melakukan tugas ke luar kota, untuk merekrut karyawan. Rizal sendiri, sesuai dengan bagiannya, lebih banyak berada di luar kantor untuk menawarkan produk tersebut. Alena dan Nathan hampir tidak pernah ada pekerjaan di luar kantor. Maka dari itu, mereka sering untuk bisa makan siang bersama.
Setiap makan siang pun, Alena selalu berusaha untuk menjaga agar dirinya tidak berada di situasi yang canggung. Bisa dibilang, ia cukup menghindari perbincangan mengenai hubungan Nathan. Alena takut akan terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan ketika mereka membahas hal tersebut.
Sore itu, Alena bisa pulang tepat waktu, karena pekerjaannya sudah selesai. Beberapa hari kemarin, ia sempat lembur sekitar satu jam setelah jam kerna habis, karena paperwork yang dikerjakan lumayan banyak. Karena ia sudah melakukannya dari kemarin, maka hari itu pekerjaan Alena tidak terlalu menumpuk.
Ketika jam menunjukkan pukul lima, Alena segera membereskan mejanya, mengambil tas, dan keluar ruangan. Di depan ruangan, ia berpapasan dengan Nathan, yang sudah membawa tasnya. Sepertinya ia juga bisa tenggo (istilah untuk pulang segera setelah jam kerja habis. Diambil dari “teng”, yang menandakan bunyi bel, dan “go” yang berarti pergi) hari ini. Nathan sedang berjalan menuju ke lift, dan melihat ke jam tangannya.
“Hai, Nathan,” sapa Alena saat melhat Nathan berjalan di depannya. Ia terlihat cukup berantakan hari ini. Mungkin hari ini hari yang cukup melelahkan untuknya.
“Eh, Alena,“ Nathan mengalihkan pandangan dari jam tangannya kepada Alena, yang berdiri di depan pintu HRD. “Tumben banget lo bisa tenggo?”
Pekerjaan Nathan dan Alena memang cukup banyak, sehingga sangat jarang untuk bisa segera pulang setelah jam kerja kantor berakhir. Pekerjaan yang banyak, terkadang memaksa para karyawan untuk lembur, sehingga memenuhi deadline yang diberikan.
“Kebetulan kerjaan udah gue beresin dari kemarin. Jadi ga perlu lembur, bisa balik lebih awal,” Alena hanya terkekeh. Mengingat memang dirinya pun, dari satu minggu, mungkin hanya bisa satu atau dua kali tidak lembur.
“Memang, kan? Gue bilang apa? Dari kuliah itu, lo tuh udah rajin banget,” Nathan hanya memuji Alena. Nathan tahu kinerja Alena saat satu kepanitiaan di kampus dulu. Pipi Alena bersemu agak merah mendengar pujian Nathan.
“Kerjaan lo emangnya ga banyak? Biasanya anak-anak accounting kalo udah mau akhir bulan, sering banget lembur.”
“Oh, kerjaan gue sih udah kelar. Tinggal satu kerjaan buat besok sih. Deadline-nya masih agak panjang, jadi ga terlalu gue paksain,” ujar Nathan.
Mereka berdua berjalan berdampingan sambil menceritakan pekerjaan mereka sepanjang hari ini. Ketika sampai di depan lift, Nathan menekan tombol turun. Tanpa menunggu lama, lift berdenting, dan pintu lift terbuka. Nathan dan Alena segera masuk, dengan masih membicarakan banyak hal. Mereka membicarakan hal tersebut, seperti teman lama yang sudah lama tak berjumpa.
Tidak sampai dua menit, lift kembali berdenting. Mereka sudah sampai di lantai dasar gedung tersebut. Nathan melangkah keluar sambil menunggu Alena keluar, dan mereka berjalan bersama menuju pintu keluar gedung. Mereka masih melanjutkan obrolan mereka, yang tidak terlalu berat, terutama soal hobi mereka berdua, yaitu menonton film.