Ruangan Pak Ridwan hanya berselisih satu kubikel dari tempat Nathan. Sebelum hari ini, Nathan tidak pernah merasa cemas saat melangkah ke sana. Nathan pernah beberapa kali dipanggil Pak Ridwan, kebanyakan sih memang berita baik yang diberikan. Namun saat ini, tidak tahu penyebabnya langkah Nathan terasa berat. Banyak pikiran masih membayangi otak Nathan, apalagi ketika melihat ekspresi Pak Ridwan tadi.
Tok! Tok! Nathan mengetuk pintu yang ada di depannya. Rasa cemas Nathan belum hilang. Ia mengambil nafas panjang, dan menghembuskannya perlahan, berusaha mengatur ritme nafas dan juga jantungnya. Setelah itu, ia membuka pintu di depannya, yang bertuliskan manager.
“Permisi, Pak,” kata Nathan sambil membuka pintu tersebut.
Ruangan Pak Ridwan masih sama seperti yang diingatnya dulu. Pak Ridwan adalah orang yang sangat rapi. Tidak ada barang yang berserakan, baik di atas meja, maupun di tempat lain. Di pojok sebelah kiri, terdapat sebuah lemari besi yang berisi banyak berkas. Berkas-berkas tersebut berisi data-data perusahaan yang dikerjakan oleh bagian accounting. Saat itu, Pak Ridwan sedang membuka salah satu laci untuk mencari berkas di dalam lemari tersebut.
Di sisi sebelah kanan, terdapat sebuah meja, dan dua kursi yang diletakkan berhadapan. Meja tersebut tertata dengan rapi. Di atas meja, terdapat sebuah komputer, tumpukan map yang harus dicek Pak Ridwan, dan juga alat tulis, seperti pena, pensil, dan spidol. Kedua kursi yang berhadapan berwarna senada, warna kesukaan Pak Ridwan, biru tua.
Di dinding ruangan tersebut, tergantung banyak pigura. Beberapa di antaranya berisi penghargaan yang diperoleh bagian accounting pada acara-acara internal bank tersebut. Beberapa pigura lain berisi foto-foto, tim accounting mulai dari pertama kali bank itu berdiri, sampai saat ini. Melihat semua foto tersebut dapat membangkitkan nostalgia terhadap mereka yang sudah bekerja keras di bagian accounting sebelumnya.
Nathan sudah memasuki ruangan, namun masih berdiri di dekat pintu. Ia sudah menutup kembali pintunya, dan menunggu respon dari Pak Ridwan. Ia tidak mau dianggap lancang dengan langsung duduk di kursi. Beberapa saat kemudian, Pak Ridwan sepertinya sudah menemukan berkas yang ia perlukan. Pak Ridwan baru menyadari kehadiran Nathan. Ia duduk di kursinya, di balik meja.
“Silahkan duduk, Nathan,” Pak Ridwan menunjuk kursi yang ada di depannya, mempersilahkan Nathan untuk duduk di kursi tersebut.
“Terima kasih, Pak,” Nathan melangkah mendekat dan duduk di kursi tersebut, berhadapan langsung dengan Pak Ridwan. Wajah Pak Ridwan masih belum berubah, masih tegang, seperti saat ia memanggil Nathan ke ruangannya tadi.
Ruangan tersebut menjadi cukup lengang. Mereka berdua hanya terdiam. Pak Ridwan masih membaca berkas yang diambilnya tadi, di dalam map berwarna kuning. Ia sempat beberapa kali membolak-balikkan halaman yang ada di dalamnya, dan membaca sekilas. Nathan yang melihat Pak Ridwan masih diam saja, hanya bisa menunduk, dan memainkan jarinya, berusaha mengurangi kegugupan yang menyerang dirinya.
Setelah selesai membaca berkas tersebut, Pak Ridwan menutup dan meletakkannya di atas meja. Ia menghembuskan nafas kasar, menjadi gusar akan hal yang harus ia katakan kepada karyawan di depannya ini. Pak Ridwan terdiam sejenak, sambil melihat Nathan yang menunduk dan memainkan jarinya. Mau tidak mau, ia harus menyampaikan berita tersebut.
“Apa kabar, Nathan?” Pak Ridwan mencoba untuk memulai percakapan, meskipun masih terlihat ragu untuk menyampaikan berita tersebut. Nathan yang mendengar suara Pak Ridwan segera mengadahkan kepalanya dan memandang kepada lawan bicaranya.
“Baik, Pak,” Nathan menjawab dengan apa adanya, tanpa menambahkan apapun. Kecemasan masih meliputi Nathan, karena dia tidak pernah tahu alasan Pak Ridwan memanggilnya ke ruangan, dengan muka yang tegang seperti itu. Ketika ia harus dipanggil ke ruangan, berarti hal yang hendak dibicarakan adalah sesuatu yang penting dan mungkin rahasia untuk sementara waktu.
Pak Ridwan menganggukkan kepalanya beberapa kali, untuk memantapkan pikirannya menyampaikan sebuah berita yang akan mengubah hidup Nathan. “Oke, mungkin saya tidak bisa berlama-lama, Nathan. Saya harus langsung saja ke pokok permasalahannya,” Pak Ridwan mengambil map kuning di depannya, dan menggenggamnya. Nathan hanya dapat mengangguk pasrah.
“Jadi begini, Nathan,” Pak Ridwan menghela nafas sejenak, ”Saya baru saja mendapatkan sebuah berita yang cukup mengejutkan,” Pak Ridwan memulai pembicaraan serius di antara mereka. “Saya mau minta maaf sebelumnya, Nathan,” ujar Pak Ridwan menambahkan lagi.
Nathan mengerutkan keningnya, bingung dengan perkataan Pak Ridwan. Mengapa tiba-tiba Pak Ridwan meminta maaf kepadanya? Memangnya Pak Ridwan ada salah apa terhadap dirinya? Nathan kembali disibukkan dengan pikirannya, namun juga penasaran ingin tahu berita tersebut.