Ketika berada di luar ruangan, Nathan berjalan dengan gontai. Ia merasa segala semangat yang ia miliki sampai saat ini sudah hilang begitu saja. Semua harapan yang dibayangkan oleh otaknya sudah, buff, lenyap semuanya. Berita yang diterimanya seakan menjadi sebuah pukulan keras bagi hidupnya. Ia terlalu menggantungkan seluruh kehidupannya pada pekerjaannya saat ini. Setelah diusahakan dengan maksimal, ia justru mendapat hasil yang tidak mengenakkan.
Kaki Nathan seakan sudah terprogram otomatis untuk melangkah menuju lift di lantai tersebut. Pikiran Nathan sudah kosong, tidak tahu harus berbuat apa lagi. Semuanya seakan terjadi terlalu cepat untuk dipahami otaknya. Setibanya di depan lift, tangannya pun seakan sudah otomatis untuk menekan tombol turun pada panel di depan lift.
Ting! Nathan mendengar lift berdenting. Ia hanya mendongak sejenak ke layar kecil di atas lift. Lift memang sudah sampai di lantai tujuh, tetapi masih akan naik ke lantai berikutnya. Nathan pun hanya terdiam kembali di tempatnya, dengan masih tetap sibuk dengan pikirannya sendiri.
Dari dalam lift, keluar tiga orang yang baru saja kembali dari pekerjaan di luar kantor. Mereka berasal dari departemen marketing, yang memang lebih banyak bekerja di lapangan, daripada di dalam kantor. Ketiga orang tersebut masih terus sibuk membicarakan mengenai hasil yang mereka peroleh hari ini, bahkan strategi yang akan mereka susun ke depan.
“Than,” panggil Rizal, seseorang dari ketiga orang tersebut. Rizal baru saja kembali dari pekerjaan lapangannya, dan menyadari bahwa Nathan berdiri di depan lift. Rizal baru bertemu Nathan saat ini, karena ia tidak ada di tempat saat jam makan siang. Pagi tadi, seperti biasa, Rizal datang hampir terlambat ke kantor, jadi tidak bertemu Nathan juga.
Ketika melihat Nathan, Rizal merasa ada yang berbeda dari Nathan. Raut mukanya sangat masam, dan seperti orang yang kehilangan arah. Ia juga mengamati bahwa Nathan sudah membawa tasnya. Ada apa gerangan, kenapa jam segini udah mau pulang?
“Bentar ya, Ris, Ta. Gue ada perlu dulu sama temen gue,” Rizal meminta izin kepada kedua temannya yang datang bersamanya. Mereka berdua pun mengangguk, dan melanjutkan langkah mereka menuju ke ruangan marketing.
“Than?” Rizal kembali memanggilnya. Rizal kembali mendekati Nathan yang masih termangu di depan lift. Dugaan Rizal semakin kuat, terutama saat Nathan bahkan tidak merespon panggilannya. Biasanya, dia paling peka ketika dipanggil oleh orang lain. Rizal segera menepuk pundak Nathan untuk menyadarkannya.
“Eh, Zal. Lo baru balik?” Nathan mencoba bersikap biasa saja pada Rizal. Padahal, sebenarnya ia sedang menghindari orang yang mungkin mengenalnya. Ia menghindari untuk ditanya macam-macam mengenai hari ini. Nathan berusaha memasang senyum di wajahnya, agar tidak menimbulkan kecurigaan.