Sebuah ruangan yang tidak terlalu besar, dan semuanya berwarna putih. Dinding, lantai, bahkan langit-langit, tidak ada warna lain selain warna putih. Di salah satu sisi dinding, terdapat sebuah pintu, yang berwarna putih juga. Nathan memandangi sekelilingnya, bertanya-tanya di manakah dia? ia menelusuri ruangan tersebut, tetapi seakan tidak ada ujungnya. Ia mencoba berlari ke arah pintu, tetapi tidak juga ia sampai ke pintu tersebut. Semakin ia berusaha untuk mencapainya, pintu itu justru semakin menjauh.
Ketika Nathan masih berusaha untuk mencapai pintu tersebut, ia melihat sesosok orang mendekatinya. Nathan tidak dapat melihat dengan cukup jelas, karena ada sinar yang terang di belakangnya. Setelah sosok tersebut mendekat, ia baru mengenalinya. Sosok tersebut adalah laki-laki, dengan tinggi yang berbeda sedikit dengan Nathan. Rambutnya berwarna putih pendek, berkumis dan berjanggut tipis. Nathan sangat mengenali sosok tersebut, sosok yang dirindukannya. Sosok tersebut adalah papanya.
Nathan dipenuhi dengan kerinduan atas ayahnya. Papanya sudah cukup lama berpulang. Ia cukup menyesal karena papanya tidak bisa melihat Nathan menggunakan baju toganya, menambahkan gelar di belakang namanya. Papanya berhenti di satu titik. Nathan yang dilanda rindu, langsung berlari menuju papanya. Namun, Nathan juga tidak pernah bisa menggapai papanya.
“Pa, kenapa terus menjauh?” Nathan akhirnya kelelahan mengejar papanya. Ia berhenti, dan menundukkan kepalanya. Ia jatuh berlutut di tempat ia berhenti.
“Nathan cuma mau peluk Papa. Kenapa ga bisa?” Nathan terisak. Segala perasaan rindunya tidak dapat dicurahkan. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, berharap dapat menutupi segala air mata yang sudah mengalir.
“Anakku, Papa tahu kamu pengen peluk papa. Sudah cukup lama papa pergi. Ga bisa sekarang, anakku,” ujar papanya lembut. Papanya menunjukkan wajah yang penuh kasih kepada anak sulungnya.
Nathan mengadahkan kepalanya, memandang kepada papanya, yang saat ini berada tepat di depannya. Nathan mencoba meraih papanya, tetapi ia tidak bisa. Papanya masih tidak bisa diraih dengan tangannya. Nathan kembali meneteskan air mata
“Anakku,” papanya berujar lagi kepada Nathan. Papanya berlutut di depan Nathan, meskipun ia sangat ingin memeluk anaknya, tetapi ia tidak bisa. “Papa tahu, Nak, apa yang sedang kamu alami saat ini. Sekarang ini, belum waktumu, Nak,”