Alena dan Rizal tidak dapat berbuat banyak. Mereka berdua masih terdiam di depan pintu kamar Nathan, mengamati keadaan di dalam kamar. Untungnya, sore itu keadaan kos Nathan sedang sepi. Banyak penghuni kosan belum kembali ke kos masing-masing, karena ingin menghabiskan malam dengan nongkrong bersama teman, atau pergi dengan pacarnya. Jumat malam, di mana kebanyakan orang tidak bekerja pada keesokan harinya.
Sepinya kosan Nathan menguntungkan mereka berdua. Perilaku mereka di depan kamar Nathan tidak akan mengundang tanya banyak orang, yang justru bisa mengundang kerumunan massa. Baik Alena maupun Rizal, akhirnya memutuskan untuk tidak hanya berdiam di luar, sebelum menarik perhatian orang lain. Mereka melepaskan sepatu mereka, meletakkannya di rak sepatu, dan masuk ke dalam kamar Nathan.
Kamar tersebut gelap, lampu tidak dinyalakan. Rizal langsung memimpin langkah mereka berdua. Ia terlebih dahulu mencari saklar lampu agar dapat melihat secara jelas ruangan tersebut. Alena ikut melangkah ke dalam kamar, dan menutup pintu. Ketika lampu dinyalakan, baik Alena maupun Rizal terkejut.
Yang membuat pintu tadi sulit dibuka, karena adanya banyak barang yang berserakan di lantai. Seingat Rizal, kamar Nathan tidak pernah berantakan. Nathan orang yang lebih rapi darinya. Bahkan terakhir kali, saat Rizal main ke kamar Nathan, semua barang masih di tempatnya. Justru Nathan yang sering memarahi Rizal saat kamar Rizal berantakan. Rizal melihat ke arah meja, yang biasanya tersusun rapi. Meja tersebut bersih. Semua yang biasanya ada di atas meja itu sudah terserak di lantai.
Keadaan kamar Nathan yang berantakan ini mungkin memang mengagetkan Rizal, maupun Alena. Rizal masih belum menyadari keadaan Nathan yang hanya diam saja di atas tempat tidur. Mungkin bagi Rizal, hal ini hanya dipandang sebagai sebuah ruangan yang berantakan. Bagi Alena, ia tahu, ada sesuatu yang salah dengan Nathan.
Dengan berantakannya kamar Nathan, Alena sudah memiliki dugaan tersendiri. Nathan tidak hanya sakit secara fisik, tapi sakit yang dialami Nathan lebih parah, yaitu sakit di hatinya. Semua barang yang ada di lantai, kemungkinan memang menjadi pelampiasan Nathan untuk segala kemarahan di hatinya. Sikap diamnya saat ini, mungkin juga merupakan salah satu indikasi juga betapa Nathan mengalami stress yang cukup berat. Selama Rizal maupun Alena di dalam kamar tersebut, Nathan tidak bergerak sama sekali, sudah seperti zombie.
Rizal sendiri justru lebih sibuk untuk membereskan barang-barang Nathan yang berserakan. Ia belum menyadari sepenuhnya keadaan Nathan yang sedang duduk terdiam di atas tempat tidurnya. Alena yang melihat Rizal membereskan ruangan sendirian, akhirnya memutuskan untuk turun tangan membantunya.
Sambil membantu Rizal, ia terus mencari cara untuk membuat Nathan, paling tidak, membaik. Alena dapat ikut merasakan sakit hati Nathan saat ini. Hatinya terasa sakit, ketika melihat orang yang dulunya tidak pernah patah semangat, sekarang bisa sangat terdiam seperti itu. Sesuatu hal yang membuat Alena bingung adalah, Nathan bahkan tidak menyadari hadirnya orang lain di dalam ruangan itu. Syukurlah yang datang mereka berdua, kalau orang lain, bisa terjadi hal yang tidak diinginkan nantinya.
“Len, coba lo lihat ini deh,” Rizal menemukan sebuah botol berwarna putih di tengah membereskan barang-barang Nathan.