Fragile Heart

Angela Nathania Santoso
Chapter #19

Bab 18

Hampir lima menit, Nathan mengeluarkan semua air matanya. Air mata tersebut keluar dengan membawa beberapa serpihan kepahitan hatinya keluar dari diri Nathan. Meskipun belum semuanya, air mata tersebut dapat membuatnya menjadi sedikit terbebas dari rasa sesak di hatinya. Nathan perlahan mulai melepaskan pelukannya dari Alena. Rizal yang menyadari hal tersebut, segera mengambil kotak tisu, yang tadi diletakkannya di atas meja. Rizal menyodorkan kotak tersebut kepada Nathan. Nathan hanya memandang sejenak, kemudian mengambil dua helai tisu. Nathan membersihkan bekas dan sisa air mata yang masih mengalir dari matanya.

Alena dan Rizal sebenarnya baru pertama kali melihat Nathan seperti ini, menangis sampai sesenggukan. Alena, terutama, yang sudah lebih lama mengenal Nathan, memiliki banyak asumsi di kepalanya. Jelas, ketika Nathan sampai berada di situasi seperti ini, pasti ada masalah berat yang sedang dialaminya. Selama ini, ketika ada masalah, sebenarnya Nathan cukup baik dalam mengatasi masalahnya. Ketika ia sampai berpikiran nekat seperti ini, pasti adalah sesuatu yang cukup berat untuk dihadapinya.

Alena sebenarnya cukup bersyukur. Nathan tidak meninggal karena meminum obat tidur dengan dosis yang banyak. Mungkin ia hanya tertidur seharian saja, menurut perhitungan Alena. Selain itu, dengan memberikan sentuhan dan pelukan kepada Nathan, dapat membantunya mengeluarkan sebagian sakit hatinya. Meskipun belum akan pulih sepenuhnya, namun hal itu cukup efektif untuk membuatnya kembali.

Tidak sampai satu menit, Nathan sudah selesai membersihkan mukanya. Muka Nathan memang masih lemas dan sedih. Nathan berusaha mulai mengumpulkan suaranya. Ia menatap Alena yang duduk di depannya beberapa saat, kemudian mengalihkan pandangannya kepada Rizal, yang sudah terduduk di dekat pintu. Dalam hati, ia merutuki dirinya karena tidak menganggap penting kehadiran mereka berdua dalam hidupnya. Ia sangat menyesali sudah mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya. Nathan bersyukur masih diberi kesempatan kedua untuk hidup.

“Gue ga tahu harus bilang apa sama kalian,” Nathan sudah dapat mengumpulkan suaranya, meskipun masih lirih. Nathan sempat berhenti sejenak. Alena dan Rizal sama-sama terdiam, menunggu perkataan yang hendak dikeluarkan oleh Nathan.

“Gue cuma bisa bilang thank you sama kalian berdua,” Nathan mulai memperoleh semua suaranya. Volume suaranya sudah mulai lebih keras daripada sebelumnya. “Thank you, Zal. Thank you, Len,” Nathan menatap Rizal dan Alena bergantian.

“Terutama lo, Len. Gue bener-bener ga nyangka, lo masih mau ke sini buat gue. Padahal, gue udah nyakitin lo, tapi tetep aja lo peduli sama gue,” Nathan menatap Alena sambil menggelengkan kepalanya pelan. Ia merasa sangat bersalah dengan dirinya sendiri. Nathan justru menyia-nyiakan orang yang sebenarnya sayang kepadanya, bahkan sampai bisa berkorban seperti ini.

“Than,” Alena mencoba menegur Nathan, untuk tidak membahas perkara itu lagi. “Itu udah lama lewat. Please, jangan dibahas lagi,” kata Alena dengan lembut, sambil menundukkan kepalanya. Perkataan Nathan barusan justru mengaktifkan memori yang sudah ingin dilupakannya. Alena tetap ingin berbuat baik saja pada Nathan, tanpa memikirkan hal tersebut. Nathan mengaktifkan rasa sakit hati yang dirasakannya dulu.

“Justru gue berasa jadi pengecut. Gue ga pernah peduliin orang di sekitar gue ya, ternyata,” Nathan tertawa kecut karena penyesalannya.

“Than, itu udah berlalu. Jangan diungkit lagi ya,” Alena mencoba untuk menghentikan Nathan membawa semua memori itu.

“Kalian berdua sebenernya ada apa sih?” Rizal hanya bergumam singkat sambil menggaruk kepalanya, yang tidak gatal, kebingungan.

“Ga ada…,“ Alena berusaha menjawab pertanyaan Rizal, dengan tidak mengemukakan jawaban yang sebenarnya. Perkataan tersebut terpotong oleh Nathan.

“Alena dulu pernah nyatain perasaannya sama gue,” Nathan menjawab Rizal dengan menatap pada Alena yang masih tertunduk. “Dan gue nolak dia.”

Ruangan menjadi hening. Nathan memandang Alena dengan tatapan nanar. Dalam otaknya bertanya-tanya, mengapa bisa ia melepaskan perempuan baik di depannya ini. Ia merasa bodoh karena melakukan hal itu dulu. Sekarang, entah apakah perasaan itu masih ada atau tidak, Nathan tidak bisa memastikannya.

Lihat selengkapnya