Fragile Heart

Angela Nathania Santoso
Chapter #20

Epilog

Nathan, satu tahun kemudian

Narina. Sebuah rumah makan yang berada di depanku saat ini, sudah berdiri sekitar satu tahun yang lalu. Pengalaman pahit yang kualami, membuatku bangkit dari keterpurukanku. Rumah makan ini adalah milik bersama, antara Rizal, Alena, dan aku. Dari namanya pun, sebenarnya itu adalah singkatan dari nama masing-masing kami. Narina, Nathan, Rizal, Alena. Milik bersama, karena modal dari rumah makan ini datang dari Rizal dan Alena. Pekerjaanku? Aku yang mengelola berjalannya tempat ini.

Setelah kejadian yang tidak mengenakkan mengenai pekerjaanku yang lalu, Rizal, Alena, dan aku memutuskan untuk membuka suatu usaha baru. Karena aku dinilai mereka cukup bisa memasak, maka mereka mengusulkan untuk membuka rumah makan. Selama sebulan pertama, setelah aku keluar dari pekerjaan, kami banyak mendiskusikan mengenai konsep tempat, dan juga menu. Aku juga memahirkan diriku untuk memasak. Tentu saja, mereka berdua jadi tester yang pertama.

Ngomong-ngomong, mereka berdualah yang menanamkan modal untuk berjalannya usaha ini. Mereka berdua masih bekerja di bank tersebut, dan mendapatkan promosi jabatan. Alena dan Rizal menempati jabatan sebagai supervisor di bagian mereka masing-masing.

Sebenarnya, di awal tercetusnya ide ini, aku cukup speechless dengan yang Alena dan Rizal lakukan. Mereka mempercayakan aku untuk menjalankan sebuah bisnis, dengan mau memberikan modal dari tabungan yang mereka miliki. Menurut perhitungan kami, modal itu tidak sedikit, tetapi mereka masih mau membantu. Bagaimana aku tidak bisa bersyukur dengan adanya mereka?

Dengan adanya usaha ini pun, aku bisa mendapatkan dana untuk menjalani hidup. Tidak hanya itu, aku masih bisa membantu mama dan adikku di rumah. Di awal aku keluar, aku tahu kehidupan mama dan adikku memang agak sulit, karena uang yang ada pasti berkurang. Aku pun sempat menangis ketika memberitahukan hal ini kepada mama, tetapi mama memang pribadi yang luar biasa. Ia hanya menenangkan aku, dengan berkata, “tidak apa-apa, Nak. Mungkin itu belum jalanmu. Mungkin Tuhan akan bukakan jalan yang lain di depanmu. Jangan patah semangat ya, Nak. Mama masih ada simpanan uang untuk bertahan, kok.” Perkataan itu cukup mendamaikan hatiku saat itu.

Pagi itu, aku memasuki rumah makan yang dibuka mulai jam sebelas siang sampai jam sembilan malam. Aku datang dua jam lebih awal, untuk mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan, Aku bersyukur rumah makan ini sudah mulai ramai, sudah mulai punya banyak pelanggan. Alena mengusulkan untuk menambah karyawan, semenjak rumah makan ini menjadi ramai. Di sinilah, aku dibantu oleh dua orang pegawai. Pegawai tersebut berperan sebagai pelayan, untuk melayani tamu, dan juga merangkap sebagai kasir. Aku lebih ditempatkan untuk sibuk di dapur saja, memastikan semua makanan dapat terhidang dengan baik.

Malam itu, Alena dan Rizal mampir ke rumah makan setelah selesai bekerja. Sepertimya mereka berdua tidak lembur, karena bisa pulang pada jam yang tepat, dan segera meluncur ke tempat ini. Lokasi rumah makan ini memang tidak jauh dari kantor, sehingga aku masih sering melihat banyak karyawan kantor bank tersebut, yang makan di rumah makan ini. Pemilihan lokasi di tempat ini, juga dikarenakan dekat dengan kosanku juga, sehingga aku tidak memerlukan banyak uang transport untuk bepergian.

“Wih, Pak koki. Lagi masak apa nih?” Rizal masuk ke wilayah dapur dengan antusias. Yang bisa sampai ke wilayah dapur ini hanya orang-orang tertentu, termasuk Rizal dan Alena. Sepertinya Rizal yang sudah lapar mencium bau ayam yang baru saja selesai dibakar.             

“Duh, Bapak supervisor satu ini. Mau, Pak?” tanyaku sambil menunjuk ayam bakar yang masih panas, masih keluar uap dari ayam tersebut.

“Perut gue sudah meronta minta makan lho,” Rizal mengelus perutnya yang memang sudah lapar. Hari ini ia merasa sangat lelah di pekerjaan, karena banyak laporan yang harus ia kerjakan.

Aku hanya bisa tertawa melihat tingkahnya. “Eh, Alena mana?”

Lihat selengkapnya