Timur membuka lollipop dan memasukkannya ke mulut. Ia menendang sebuah kaleng bekas minuman. Seperti biasa, ketika tidak ada shift sore, laki-laki yang gemar mengenakan topi itu akan mampir ke sebuah tribun yang terletak tidak jauh dari sekolahnya. Itu merupakan sebuah tribun yang digunakan untuk melihat pertunjukan pacuan kuda yang biasanya digelar satu sampai dua kali dalam setahun. Meski bentuk lapangan yang digunakan sebagai area pertunjukan pacuan kuda berbentuk melingkar, namun keberadaan tribun itu hanya berada memanjang di satu sisi yang bersebelahan dengan gerbang masuk menuju lapangan. Panjangnya tidak sampai lima meter. Area duduk dalam tribun hanya terdiri dari empat tingkat. Ketika sedang tidak ada pertunjukan, tribun itu akan selalu sepi. Timur seringkali pergi kesana seorang diri meski hanya untuk duduk melamun dan menunggu petang tiba. Memandangi hamparan rumput bersama dengan angin sore.
Seorang lelaki yang masih mengenakan seragam abu-abunya sedang sibuk berjongkok dan menyemprotkan sesuatu ke dinding tribun. Sebuah jaket hitam membungkus tubuhnya yang kurus. Lelaki itu memandangi hasil semprotannya dengan wajah kagum sekaligus bingung. Timur melihatnya dan tersenyum geli. Beberapa minggu terakhir kesendiriannya terusik dengan kehadiran lelaki yang berada di tahun yang sama dengannya, namun tingkah lakunya yang seperti anak kecil membuatnya terlihat seperti lebih muda dari Timur. Ia kemudian menghampiri lelaki itu yang berada di tribun pada tingkat paling atas.
“Kamu dapat darimana?” Tanya Timur sembari menghampirinya.
“Ah, hai.” Ia melambaikan tangan dan tersenyum saat menemukan kedatangan Timur. “Sepertinya seseorang sengaja membuangnya disini.” Tambahnya mengacungkan sebuah botol cat semprot di tangan kanannya.
Timur menyelidik ke dinding tribun yang menjadi sasaran cat semprot dari tangan lelaki itu. Ia berusaha menahan senyum gelinya. “Kamu suka menggambar?”
“Aku?” Angga mengamati gambaran tak berwujud dari cat semprot yang baru saja ia gunakan. “Aku tidak bisa menggambar, tapi aku menyukainya. Dan melakukan ini, entah bagaimana melegakan sekali.” Dia menunjuk tembok bekas gambarannya.
“Apakah ini menggambarkan perasaanmu?” Tanya Timur kemudian.
“Wah, kamu bisa membaca gambar seburuk rupa ini? Jika benar gambar ini bisa mengekspresikan perasaanku, aku sendiri bahkan tidak yakin apakah itu perasaanku yang sesungguhnya atau hanya perasaan berbagai karakter yang pernah melekat dalam wajahku.”
Timur hanya tersenyum dan mengabaikan pernyataan itu. Ia lalu merampas cat semprot di tangan Angga. Tangannya mulai menari pada dinding, membuat pola yang terbersit dalam imajinasinya. “Kalau kamu tidak bisa mengatakannya kepada seseorang, tidak masalah. Katakan saja pada warna-warna ini dan semprotkan sesuka hatimu.” Ungkapnya tanpa berhenti menggambar.
Angga mendengarkan kalimat itu sebagai sebuah nasihat. Seakan-akan Timur juga bisa membaca perasaannya seperti ia membaca gambarannya yang tak berwujud. Dalam hatinya ia melafal terimakasih atas pertemuannya dengan seseorang yang seakan bisa memahaminya tanpa perlu menceritakan segalanya.
“Kamu mau ikut aku pergi menggambar?”
“Hah?” Angga melemparkan raut kebingungan.
“Aku biasanya melakukannya di jalanan tengah malam yang lengang.”
“Benarkah?”
“Lain kali, ayo pergi bersama.”
Dibalik seulas senyum kotak dari wajah Angga, Timur melihat guratan-guratan luka di setiap senyumannya yang tulus. Sesuatu yang pilu tersembunyi disana. Hanya itu yang Timur dapatkan. Ada sebuah angin yang mengantarkan hatinya untuk menghibur dan menyelinap ke dalam cerita-cerita di balik senyuman Angga.
---
Riko melemparkan tubuh Ranu hingga tersungkur. Arya telah berdiri di hadapannya dengan seringai kemenangan.
Mereka mulai lagi. Ungkap Ranu dalam hati. Ia berusaha menahan amarahnya agar tidak meluap seperti biasanya. Melawan mereka adalah hal yang selalu ia inginkan. Ia pernah melakukannya sekali. Perlawanan itu justru tambah menghancurkan dirinya sendiri karena saudara tirinya, Arya, sangat pandai memanipulasi informasi dan menjadikan dirinya sebagai korban, bukan penyerang. Bahkan ibunya sendiri menerima fakta palsu yang disampaikan oleh Arya.
“Kamu tidak ingin melawan lagi?” Arya mengajukan pertanyaan itu sembari menarik kerah baju seragam Ranu untuk berdiri.
Ranu tak mengatakan apapun. Ia hanya menatap wajah saudara tirinya tanpa berkedip dan penuh amarah yang sengaja ia simpan baik-baik di balik wajahnya.
“Kenapa dengan tatapanmu itu hah? Kamu mau melempar bola matamu untuk menusukku?” Arya mendorong tubuh Ranu sekali lagi.
Ranu hanya menyeringai dan membenahi seragamnya. Ia kembali menatap Arya dengan tajam. “Aku tidak punya waktu untuk melawan pengecut.”
Pukulan Arya kembali melayang di wajah Ranu. Ia menendang tubuh Ranu hingga terjungkal. Riko dan Ryan menendang tubuh Ranu berkali-kali. Ranu tidak melakukan perlawanan dan hanya memejamkan kedua matanya seraya menahan sakit di sekujur tubuhnya.
Sebuah tinju tiba-tiba melayang di wajah Ryan. Berangsur-angsur dengan pukulan dan tendangan. Riko yang mendapati temannya jatuh terjungkal, langsung membuat perlawanan kepada seorang anak laki-laki dengan penampilan rambutnya yang acak-acakan. Bernasib sama, Riko jatuh terjengkang menubruk tubuh Ryan. Arya yang melihat teman-temannya terkapar menatap geram ke arah lelaki itu. Ia kemudian hendak melakukan serangan pukulan, tapi tangan kanannya ditahan di udara.
“Tiga lawan satu. Apalagi jika bukan pengecut?” Lelaki itu meludahkan permen karetnya dan melemparkan tangan Arya yang ia tahan di udara.