Fragments

Ming
Chapter #1

Chapter I

Tanpa batas, kata pertama yang dipikirkan olehnya ketika ia mencoba untuk mendeskripsikan tempat ini. Tanpa batas, perasaan pertama yang muncul ketika ia melihat tempat ini. Ia ingat betul dengan apa yang sering di katakan oleh ibunya tentang ambisi seorang manusia, terdapat awal tetapi tiada akhir. Di saat seseorang mempelajari kata ‘milikku’ maka seketika itu juga semua yang berada di muka bumi ini ingin dikuasai olehnya. Membutakan mata mereka dari hal-hal lebih berharga yang sudah mereka miliki seumur hidupnya. Jeanne berfikir, jika memang wujud dari ambisi itu adalah tanpa batas yang membutakan mata maka bukankah tempat ini adalah seperti personifikasi dari kata ambisi itu sendiri? Jika benar maka kasihanlah para manusia yang mencoba untuk memenuhinya. Bayangkan kegelapan tanpa batas yang mengelilingi dirimu, menolak untuk memberi tahu seberapa besar sebenarnya bentuk aslinya. Juga tak tampak setitik saja cahaya yang bisa digunakan sebagai penunjuk arah. Tak heran jika banyak dari mereka yang menjadi gila karena tertekan oleh ambisi di hidup mereka. Tetapi bagaimana caranya Jeanne bisa terdampar di tempat ini? Seberapapun kerasnya ia mencoba untuk mengingat ia tak mampu untuk mengingatnya. Seakan-akan terdapat kabut tebal yang tergantung melayang di dalam otaknya.

Mungkin kata tak mampu untuk mengingat kuranglah pantas untuk digunakan saat ini. Karena lebih tepatnya alasan untuk kenapa ia bisa berada di sini sudah berada di ujung lidahnya namun tak mungkin baginya untuk mengutarakannya. Jeanne tak mau dan menolak untuk menerimanya. Kau tahu, seperti ketika kau baru saja memecahkan salah satu piring kesayangan ibumu dan kau memutuskan untuk menyembunyikannya di bawah sofa alih-alih bertanggung jawab. Seakan-akan jika kau tak pernah membicarakannya maka masalah itu akan hilang dengan sendirinya. Tetapi jika ada satu makhluk hidup saja yang membisikkanya maka seketika itu jugalah hal ini akan menjadi kenyataan. Seperti itulah perasaan yang sedang dirasakan Jeanne saat ini. Mencoba untuk lari dari kenyataan atau menolak untuk menerima kejadian yang baru saja ia alami. Terserah mau orang lain sebut apa, selama tak ada yang mengatakannya secara langsung di hadapannya maka tak ada salahnya bagi Jeanne untuk tidak menerimanya. Tidak! Walaupun ada yang mengatakannya secara langsung di hadapannya atau bahkan melemparkan semua bukti ke wajahnya, ia tetap mempunyai pilihan untuk tidak mempercayainya. Apa yang mereka anggap kenyataan belum tentu sama dengan apa yang dianggap kenyataan oleh Jeanne bukan? Ini warna merah, kau melihatnya sebagai merah begitupun denganku. Tetapi apakah warna merahmu dan merahku adalah sama?

Jeanne kemudian mencoba untuk menghentakkan kakinya ke tanah, mencoba untuk mencari tahu sesedikit apapun informasi yang bisa ia dapatkan tentang tempat ini. Gelap memang telah membutakan indera penglihatannya, tetapi tidak berarti kegelapan ini juga telah membutakan indera perasanya juga bukan? Kosong, itulah informasi yang didapatkan oleh kakinya ketika ia coba hentakkan ke tanah. Kosong, seperti ketiadaan dari bentuk fisik yang seharusnya sedang menopang tubuh Jeanne saat ini. Apakah artinya tubuh Jeanne sedang terbang? Melayang di tengah kehampaan tanpa bisa membedakan atas dari bawah, juga kiri dari kanan. Tubuh! Setidaknya ia seharusnya bisa merasakan tubuhnya, terutama dengan informasi baru yang terus menerus menyerang dirinya. Tetapi apa daya, tak ada sedikitpun informasi yang bisa ia rasakan, seakan-akan wujud fisiknya telah lenyap ditelan kegelapan tempat ini. Mungkin memang hal itu yang sedang terjadi, mungkin memang itulah hal terbaik yang bisa diterimanya saat ini terutama jika mengingat apa yang baru saja ia alami. Apakah akhir selalu seperti ini? Tidak ada rasa sakit, sedih, tenang ataupun gembira. Tak ada apapun! Dan kenyataan untuk tidak akan pernah lagi dapat merasa mulai sekarang hingga entah kapan mulai membuat takut Jeanne. Setidaknya itulah yang seharusnya terjadi jika saja ia bisa merasakan rasa takut.

Lihat selengkapnya