Fragments

Ming
Chapter #4

Chapter IV

Berjalan kaki. Cara transportasi paling primitif yang pernah diketahui adalah juga cara mereka pergi menuju tempat terakhir. “Terlalu berat dirimu untuk bisa menaiki perahu.” Kata si Malaikat. Jean mengerti, bukan berat badan yang ia maksud, tetapi beban hatinya. Seakan ia melupakan sesuatu, seakan ada hal yang seharusnya ia lakukan sebelum kembali ke tujuan terkahir. “Baiklah, mari berjalan denganku. Akan kuantar kau ke tempat terakhir bila memang kau sudah siap.” Siap? Semestinya ia sudah siap. Ia sendiri bukan yang memutuskan tak mau kembali ke atas, kembali ke dunia tanpa Jeanne. Namun kenapalah terasa berat hatinya? Seperti melupakan sesuatu yang penting. Lagipula bagaimana ia bisa berakhir disini. Sama sekali tak ingat bagaimana ia mengakhiri perjalanan hidupnya.

Belum lagi saatnya. Kata-kata yang ia dengar tadi kembali mengusik hatinya.

Jean dan Sang Malaikat berjalan melewati tanah tandus dalam diam. Meskipun begitu, hampir tak ada bosan yang dirasakan Jean. Setiap hal yang ditemuinya di tempat ini adalah baru baginya. Siapa yang sangka jika dunia bawah begitu berwarna? Pastinya bukan Jean. Ia sedari kecil selalu diajarkan jika dunia bawah adalah tempat yang mengerikan, di mana kau harus mempertanggung jawabkan semua perbuatanmu baik itu jahat maupun baik. Terselip sedikit saja dan selamat datang di dalam penyiksaan abadi.

Tetapi apa yang ia lihat sekarang sama sekali tidak mencerminkan gambarannya selama ini. Tidak ada api yang membakar jiwa yang di siksa juga tak ada taman eden tempat kebahagiaan abadi berada. Jika ia harus mendeskripsikan tempat ini maka ia akan berkata bahwa tempat ini berada tepat di tengah dua titik ujung ekstrim tersebut. Tidak akan kau temui kebahagiaan abadi si sini tetapi tak juga akan kau temui hukuman abadi. Semua terasa konstan seakan tak akan pernah berubah sampai kapanpun. Sepuluh tahun, seratus tahun atau seribu tahun tak akan membuat perbedaan yang berarti di sini.

Mungkin terdengar menyenangkan, kabar yang sangat baik malah. Terutama jika kau hidup dengan bersuka-suka tanpa mempedulikan orang lain. Tetapi itu berarti juga apapun yang kau lakukan seumur hidupmu tidak ada artinya. Buruk ataupun baik pada akhirnya sama saja. Tak ada hadiah yang menunggu di di ujung jalan. Hanya kata tamat menghiasi layar ketika kau tiba di sini. Jika begitu bukankah sama saja jika kau tak dilahirkan di dunia dan langsung saja ke sini. Apalah artinya membuang semua waktu di bumi hanya untuk kehilangan segalanya ketika waktunya tiba. Meninggalkan warisan? Siapa yang peduli dan mendapatkan keuntungan dari warisan tersebut? Keturunanmu? Orang yang pernah kau dampak hidupnya? Orang-orang sama yang tidak akan berpikir dua kali untuk memutar balikkan warisanmu jika itu bisa membuat nafsu mereka lebih mudah didapatkan.

Seakan-akan dia bisa mendengar apa yang sedari tadi Jean pikirkan, tiba-tiba si Malaikat berkata. “Yang berarti juga kau berbuat baik karena itulah yang dikatakan hatimu. Bukan karena takut karena ada sosok seorang ayah yang akan menghakimi dirimu di akhir.” Ia terdiam sebentar, berpikir sebelum melanjutkan, “Kehendak bebas! Bukankah itulah adalah hal yang paling mengagumkan? Tak ada tangan besar yang memaksamu untuk bertindak, semua terjadi karena kau yang memutuskan. Kenapalah kau tak puas dengan hal itu? Apakah kau lebih memilih untuk bertindak karena dijanjikan hadiah di ujung? Sama seperti seekor anjing yang dilatih.”

Terdiam, Jean merenungkan kembali kata-kata Malaikat. Kehendak bebas! Satu-satunya kelebihan yang dimiliki manusia atas makhluk hidup lain. Satu-satunya alasan juga yang membuat manusia menjadi monster paling mengerikan yang bisa menghancurkan tanpa alasan yang jelas. Dan Tentu banyak makhluk hidup yang membunuh sesamanya. Singa, elang, bahkan kucing peliharaan, mereka semua pernah membunuh. Tetapi sering kali mereka mempunyai alasan yang jelas seperti memburu karena lapar atau mempertahankan teritori. Bagaimana dengan manusia? Apa alasan mereka untuk membunuh? Memperluas daerah kekuasaan? Akhir yang sama bisa dicapai dengan jalan yang lebih baik seperti membagi lahan. Kita diberi akal pikiran untuk berkomunikasi. Kita juga dilengkapi dengan kehendak bebas sehingga tak ada yang dapat mengatur tingkah kita tetapi pada akhirnya kita tetap di kontrol oleh banyak faktor eksternal.

Seperti rasa takut. Hanya karena mereka takut dengan yang tak mereka mengerti, hal ini menjadi alsan bagi mereka untuk saling menghancurkan. Warna kulit mereka berbeda sudah pasti mereka orang jahat. Bahasa yang mereka gunakan berbeda. Apa yang sedang mereka bicarakan, taruhan mereka sedang berbicara yang tidak-tidak tentang kita. Bahkan rasa takut jugalah yang telah memaksa Jean untuk membunuh Jeanne. Kehendak bebas! Jean berpikir jika mungkin memang ada hal seperti itu di dunia. Karena jika ada satu hal yang ia pelajari selama hidup, maka pelajaran itu adalah tak ada yang namanya kehendak bebas yang benar-benar murni. Semua yang kita lakukan selalu berdampak ke orang sekitar kita. Membuat kita harus menimbang apa yang ingin kita lakukan dengan apa dampak bagi sekitar.

Terutama dengan sifat alami kita sebagai makhluk sosial. Kita tidak bisa hidup tanpa menggantungkan diri pada orang lain. Lalu begaimana caranya kita bisa menggunakan kehendak bebas dengan bebas? Hidup adalah permainan teraneh. Menang terlalu sedikit maka kau akan diinjak oleh ornga lain. Menang terlalu banyak maka semua orang berbalik melawanmu dan mengatakan kau bermain curang. Terlebih lagi kau dilempar ke tengah permainan tanpa ada hak untuk memilih. Tanpa ada petunjuk apa yang sebaiknya kamu lakukan. Jadi dimanakah sebenarnya kehendak bebas yang sedari tadi dibicarkan? Ilusi yang dilempar untuk mempertahnakan ego-mu. Aku tak harus mengikuti kata atasanku, hanya saja kali ini aku memilih untuk ikut. Aku tak harus menyelesaikan pekerjaanku, hanya saja kali ini aku memilih untuk menyelesaikannya. Aku tak harus pergi berperang, tetapi aku ikut karena aku memilih bukan karena perintah. Dan aku tak harus menyetujui perintah eksekusi tetapi aku memilih untuk menyetujuinya.

“Lalu apakah takdir adalah alternatif yang lebih baik?” Tanya Malaikat sambil menoleh melihat diri Jean.

“Garis hidup yang telah tertulis. Jika memang itu benar maka akan menyedihkan sekali hidup di dunia, karena berarti apapun yang kau lakukan sebenarnya sudah tertulis terlebih dahulu dan kau tak akan pernah bisa merubahnya.” Jean menjawab. “Tetapi jika memang ternyata begitulah adanya maka aku lebih memilih kenyataan yang menyedihkan daripada hidup dalam ilusi yang menyenangkan.” Lanjut Jean lagi.

“Bijak jawabanmu.” Kata Malaikat. “Tetapi ada beberapa orang yang bisa meneruskan hidup mereka hanya karena ditopang ilusi seperti itu. Jika ilusi itu bisa mendorong seseorang untuk tetap bertahan hidup maka bukankah berarti ilusi itu adalah nyata?” Tanya malaikat kepada Jean lagi.

“Nyata bagi mereka mungkin tapi tidak bagiku.” Jean menjawab pendek.

Lihat selengkapnya