Berjalan dalam diam, entah sudah berapa lama semenjak Jean meninggalkan malaikat guna mencari jalannya sendiri. Jarak yang harus ditempuh olehnya terasa lebih jauh dari yang terlihat. Bosan, ia lalu melihat sekelilingnya, berusaha menghisap semua pemandangan. Di atas, banyak pulau-pulau kecil melayang tinggi di angkasa. Ia mencoba membayangkan bagaimana rasanya untuk berada di atas sana, di atas perahu yang mengapung di langit yang dipenuhi bintang dan roh. Di sini, yang bisa ia rasakan hanyalah air dingin di bawah kakinya. Tempat ini gelap dengan roh-roh di atas menjadi satu-satunya sumber cahaya. Indah, Terutama karena air di bawah yang seperti cermin. Membuatnya seakan-akan berjalan di langit. Kini, andai saja ia tidak merasakan dingin.
Percaya dalam hati, nasehat yang terus menerus didengarnya di tempat ini. Seperti kompas, percayalah. Ia terus berjalan membiarkan kakinya yang memimpin arah. Sesekali Jean melihat orang lain juga berjalan menuju tempat lain. Mungkin mereka juga melakukan hal sama dengan Jean berusaha untuk menyelesaikan apapun hal yang tidak sempat ia selesaikan semasa hidup mereka. Terkadang ia juga melihat mereka yang duduk bersandaran batu atau menyalakan api unggun. Menunggu atau melihat apa mereka? Jean tidak tahu dan ia sama sekali tak memiliki keinginan untuk bertanya. Sejujurnya, hal ini terasa sangat membebaskan. Tak ada orang lain yang terus-menerus di belakangmu seperti bayangan yang mengikuti dan menanyakan semua hal yang kau lakukan.
Tidakkah sesekali kau ingin bisa merasakan apa artinya bebas dalam arti yang sebenarnya. Melakukan apapun yang kau suka tanpa perlu takut akan dihakimi oleh orang lain. Sebagai seorang pangeran di semasa hidupnya ia terlihat memiliki banyak kebebasan tetapi sebenarnya semua hal yang ia lakukan akan selalu menimbulkan pertanyaan pada orang banyak. Baik di dalam lingkaran kerajaan atau di luar. Tidak mencampuri urusan orang lain dan tidak dicampuri. Membiarkan sesama untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan tanpa menghakimi. Ini adalah rasa terbebas yang pernah ia rasakan setelah sekian lama.
Dan sampailah ia ke tepi dari tempat ini. Jurang yang sangat dalam memisahkan ia dengan apapun yang berada di depan. Kebingungan ia melihat sekeliling untuk melihat apa ada jalan lain untuk ke seberang. Sayang sekali di sekelilingnya ia hanya melihat air dan beberapa batu. Sepantasnya saja sedari tadi ia melihat semakin sedikit orang yang ia temui sewaktu ia ke sini. Mereka pasti tahu bahwa tidak terdapat apa-apa di sini. Hanya jalan buntu. Sang malaikat berkata biarkan hatimu yang menuntun dan Jean dituntun oleh hatinya untuk ke sini. Mungkin ia hanya disuruh untuk lompat saja ke dalam kegelapan oleh hatinya.
Lagipula apa yang sedang ia harapkan? Bahkan dari jauh saja sudah terlihat tak ada jalan untuk ke seberang ataupun ke bawah di sepanjang mata memandang. Satu-satunya jalan adalah kembali. Namun walaupun kembali adalah sebuah pilihan ia tetap tak akan memilihnya. Disinilah seharusnya tempat tujuannya. Hatinya merasakan sedikit sakit, seakan hampir bisa menggapai tetapi lolos di saat-saat terakhir. Ia sadar akan kemungkinan bahwa sia-sia saja datang kemari. Tetapi toh ia tetap memilih untuk kesini juga. Memilih untuk percaya. Ia teringat percakapannya tadi dengan Malaikat, “Lalu kenapa tak kau gunakan keyakinan itu untuk mempercayainya satu lagi keajaiban?” Mungkin ini adalah salah satu saatnya jika ia ingin mencoba untuk percaya. Lagipula waktu juga tak ada artinya bagi orang yang telah meninggal. Ia bisa mencari cara menuju seberang tak peduli berapa lama atau bagaimana caranya.
“Lihat, lihat, ada seorang anak manusia datang kemari.” Tiba-tiba Jean mendengar suara.
“Lihat, lihat, kapan terakhir kali mereka kesini karena kehendak mereka sendiri.” Terdengar suara yang lain.
Bayangan besar terbang keluar dari dalam jurang, Jean kaget dan hampir terjatuh karenanya. Lalu terdengarlah suara ketiga, “Lihat, Lihat, ia sedang menatap kita dengan kebingungan.”
Susah untuk melihat makhluk apa yang sedari tadi berbicara dengannya. Tubuh mereka hitam berkilauan di permukaan tubuh mereka. Berkelip seperti bintang yang membuat mereka terlihat seakan menyatu dengan langit sekitar. Tetapi sekarang ia bisa melihatnya, sayap besar yang berkibak untuk mencegah diri mereka jatuh ke bawah. Paruh besar yang membengkok seakan-akan membentuk senyum. Mata hitam seperti danau di bawah kaki Jean sekarang. Ia melihat tiga gagak raksasa berterbangan mengelilingi dirinya.
Entah karena merasa terlalu terkejut atau karena terlalu kebingungan melihat hal yang sedang berlangsung di depan matanya. Jean terdiam sama sekali tidak mengeluarkan suara apapun. Ia berdiri, membeku seperti batu-batu di sekitarnya. Menunggu sesuatu apapun itu untuk terjadi dan memecahkan keheningan ini. Untungnya, ia tidak perlu menunggu lama untuk hal itu terjadi. Para gagak tiba-tiba tertawa dan berbicara dengan sesama mereka. Membicarakan bagaimana tampang Jean yang bodoh. Cara berbicara mereka terdengar aneh seperti saling lengkapi kalimat masing-masing dan terkadang mengatakannya dengan cara yang berulang-ulang.
Semua hal yang ia lihat sampai saat ini sudah masuk ke dalam kategori sangat aneh dan bukan bagian dari dunia yang ia tahu. Tetapi mungkin in adalah kejadian yang paling di luar ekspektasinya. Malaikat di dunia kematian bukanlah hal yang terlalu mengejutkan. Terkejut tetapi masih dapat ia mengerti. Tetapi bagaimana dengan tiga gagak? Untuk apa mereka berada di sini dan apalah artinya mereka? Terlebih lagi karena mereka terlihat seperti gagak yang biasa ia lihat hanya membuat kejadian ini semakin aneh. Ia sedikit berpikir apakah artinya gagak di atas sana juga adalah spesies yang sama dengan mereka. Mungkin mereka adalah keturunan mereka atau jejak yang mereka tinggalkan untuk dunia atas. Seperti token untuk para makhluk hidup untuk selalu mengingat tentang keberadaan dunia bawah tempat mereka berasal. Tempat di mana semuanya akan berakhir cepat atau lambat.
“Siapa kalian dan kenapa kalian kemari?” Jean bertanya
“Lihat ia menanyakan hal bodoh.”
“Tidakkah ia tahu, ia yang menginjakkan kakinya ke tempat kita tinggal.”
“Kenapa kalian kemari? Pertanyaan yang pantas untuk dirimu.”
Mereka terbang, mengelilingi Jean sekarang. Kencang suara mereka dan untuk itu ia merasa sedikit terintimidasi. Satu-satunya yang meyakinkan ia bahwa makhluk-makhluk ini tidaklah bermaksud untuk menyerangnya adalah karena sampai sekarang ia masih berada di sini. Jika memang mereka ingin menyerangnya sudah pastilah hal itu sudah terjadi. Tidak ada yang bisa Jean perbuat untuk mempertahankan diri dan tampangnya sama sekali tidak mengintimidasi jadi tak ada alasan bagi mereka untuk tidak menyerang dari tadi. Kecuali mereka suka bermain-main dulu dengan mangsa mereka sebelum menyantapnya. Ia berpikir, bisakah ia mati sekali lagi di sini, bisakah ia merasa sakit ketika cakar-cakar itu merobek tubuhnya. Bukan lompat ke dalam gelap, sepertinya hatinya menginginkannya untuk menjadi santapan tiga gagak.
“Tak ada yang akan melukaimu di sini. Tentunya bukan kami.”
“Kau sudah dengar juga kan, bahwa kau aman di sini untuk apapun yang ingin kau lakukan.”
“Ikuti hatimu seperti kompas, dan ketahuilah kau akan aman dimanapun di sini.”
Jean mencoba untuk melihat apa yang berada di seberang jurang, bayangan kubik besar melayang di ujung sana. “Lalu siapa kalian?” Ia bertanya. “Tadi kalian mengatakan ini adalah tempat tinggal kalian. Jadi apakah kalian akan menyerangku jika aku mencoba untuk menyeberang seperti para penjaga yang sedang bertugas?”
“Coba kalian lihat apakah ia masih memiliki telinga? Karena sepertinya ia sama sekali tak mendengarkan ucapan kita.”
“Telinganya terlihat utuh tapi aku tidak bisa tahu pasti.”
“Haruskah kita memberitahunya sekali lagi dan berharap ia mendengarkan kali ini?”
Mereka terus terbang sambil melengkapi perkataan satu sama lainnya.