Fragments

Ming
Chapter #6

Chapter VI

Lompatan keyakinan. Jean terus berjalan, melayang di udara. Jurang besar menganga di bawahnya. Bodoh, itulah yang seharusnya ia rasakan. Bodoh, gegabah, nekat semua kata-kata yang cocok untuk disematkan pada diri Jean saat ini. Kenapalah ia sangat ingin kemari? Niat kuat yang ia sendiri tidak begitu mengerti. Bukankah akan jauh lebih mudah untuk berjalan balik, mencari alternatif lain dibandingkan dengan melakukan hal ini. Ia bahkan tak tahu apakah akan berhasil atau tidak. Mungkin saja gagak-gagak itu berkata bohong padanya atau mungkin saja Jean yang salah mengartikannya. 

Selangkah demi selangkah. Tak ada bunyi langkah kaki yang biasa menemaninya. Masih jauhkah tempat tujuannya? Pentingkah untuk mengetahui hal itu? Dengan selangkah demi selangkah Jean menutup jarak antar dirinya dengan tempat tujuannya. Masih jauhkah tempat tujuannya? Ia tidak tahu yang ia tahu adalah sejauh apapun itu perlahan ia akan tiba juga. Yang terpenting adalah untuk tidak berhenti, untuk tidak membiarkan rasa ragu menguasai. Suara gagak dibelakangnya masih terdengar tetapi Jean tidak begitu memperhatikannya. Apa yang mereka katakan? Apakah mereka sedang memuji upaya Jean? Atau justru sedang berusaha menjatuhkannya. Lucu, dari semua senjata yang bisa dipunyai oleh seseorang justru yang tidak tampak seperti kata-kata adalah yang paling berbahaya.

Sudah berapa kali ia mencoba untuk mengubah dirinya karena takut akan apa yang dikatakan oleh orang lain? Sudah berapa kali ia berhenti melakukan sesuatu karena kata-kata dari orang dan dirinya sendiri? Padahal ia tahu persis, tidak ada yang akan tahu bagaimana jadinya masa depan itu. Padahal ia tahu jika kata-kata tak akan bisa untuk melukainya. Padahal ia tahu jika ia terus melakukannya maka masih ada kesempatan baginya untuk berhasil. Lagipula selama kau tak berhenti maka persentase tidak pernah kosong bukan? Selama kau tidak berhenti setidaknya kau masih memiliki lima puluh persen kemungkinan untuk berhasil. Lima puluh! Bayangkan lima puluh! Kemungkinan yang keluar hanyalah antara berhasil atau tidak bukan? Tetapi mengetahui hal ini kenapalah masih banyak orang yang membuang kesempatan tersebut? Membuang mereka hanya karena orang asing berkata padanya bahwa ia lebih baik berhenti.

Persetan dengan pendapat mereka. Melakukan memang karena ingin bukan ikut-ikutan. Makan karena lapar, minum karena haus dan bagi Jean sekarang hanyalah hatinya terus-menerus tertarik untuk ke sini. Ikuti hatimu seperti kau mengikuti kompas. Jika perkataan itu benar dan memang hatinya tahu ia harus pergi kemana maka bukankah itu adalah alasan yang cukup baginya untuk kemari?

Akhirnya kaki Jean menyentuh tanah kembali. Ia berhasil tiba di seberang, melawan semua kemustahilan. Air yang mengalir menyambut dirinya.

Gagak-gagak itu lalu berkata, “Di seberang, sudah tibalah dia.” Entah sejak kapan mereka berada di dekatnya.

“Kau lihat? Tidak begitu susah bukan? Hanya perlu melangkah maju dan akhirnya tiba di tempat tujuan.”

“Yang tersusah hanya berada di langkah pertama. Haruskah maju? Bagaimana bila jatuh? Bodoh, bukankah kemungkinan lima puluh persen sudah selayaknya untuk diambil? Dibandingkan berpikir hal yang mungkin tidak akan terjadi, kenapa tidak memikirkan hal yang kau inginkan terjadi?”

Jean melihat mereka, tersenyum dan berkata, “Terima kasih. Kalian mungkin tidak membawaku terbang, tetapi kalian mendorongku untuk maju. Jika pada akhirnya aku tiba di sini juga, bukankah itu sama saja kalian sudah membantuku?”

Gagak-gagak itu tertawa mendengarnya.

“Kalau begitu mungkin sekarang giliranmu untuk membantu yang lain. Selain dirimu ada satu orang lagi yang sudah pergi kesini terlebih dahulu.”

“Mengikuti hati, kalian mungkin sudah digarisakan untuk bertemu disini. Untuk apa kamipun tak tahu.”

Lihat selengkapnya