Fragments

Ming
Chapter #7

Chapter VII

“Hei! Jean! Jean! Bisakah kau mendengarkanku?” Samar-samar terdengar seperti di bawah air, suara seorang pria mencoba untuk membangunkan Jean. “Kau beruntung sekali, aku berhasil menemukanmu sebelum mereka sempat menghisap habis dirimu.” Ia berkata lagi. “Tempat yang sangat jahat, kau harus sangat berhati-hati jika ingin ke sana. Telat sedikit saja aku menemukanmu maka kau pasti sudah bergabung dengan mereka.” Masih terdengar sayup-sayup, Jean bahkan tak punya kekuatan untuk menjawab apalagi melihat siapa yang sedang berbicara. Ia tahu bahwa orang ini sedang berbicara dengannya. Ia bisa mendengar apa yang dikatakannya tetapi arti dari kalimatnya sama sekali lewat. “Sepertinya kau belum pulih betul.” Kata-kata terakhir yang didengarnya sebelum lagi, Jean terjatuh dalam tidurnya.

Jean membuka matanya perlahan, gelap pikirnya. Samar-samar ia mencoba untuk mengingat apa yang baru saja terjadi. Ia mengingat pergi ke suatu tempat. Suatu bangunan yang tidak bisa ia ingat bentuknya. Dari jauh terlihat seperti piramida tetapi di dekatnya, di dalamnya, ia tidak yakin. Jean mengingat ada banyak pilar yang menjunjung tinggi ke angkasa layaknya menembus sampai ke langit dan tempat yang luar biasa gelap gulita. Di sanalah ia mulai mendengar suara-suara. Suara yang tak ia kenal dalam jumlah yang sangat banyak. Perlahan tapi pasti mereka mulai mencoba untuk mengambil alih indera yang dimiliki oleh Jean. Tidak hanya indera tetapi mereka juga mencoba untuk mengambil identitas Jean.

Pertama memang tidak langsung terasa apa yang mereka coba untuk perbuat. Selayaknya suara yang terdengar di belakang kepala. Seperti ketika kau mencoba untuk berbicara dalam hati atau berpikir. Suara-suara itu bercampur menjadi satu dengan milikmu sendiri. Memang terasa agak aneh karena terasa seperti suara yang langsung saja melompat ke depan kesadaranmu. Tetapi tidak cukup untuk membuat seseorang berpikir yang tidak-tidak terutama karena tempat yang gelap menumpulkan indera dan pertahanan yang dimiliki Jean.

Suara itu maju kedepan dan langsung saja mencoba untuk bercampur dengan yang lain. Pertama, kedua, ketiga sebegitunya salah satu dari mereka berhasil masuk, maka yang lain segera melompat ke dalam kereta pula. Seperti ketika tanggul yang sedikit bocor tetapi tidak pernah dibetulkan. Sedikit saja salah maka semua air sungai di belakang agar merembet masuk. Menyapu bersih daratan, bercampur dan mendominasi tanpa pandang bulu. Semua dilahapnya sama saja. Seperti suara-suara itu juga, mereka langsung saja menyapu seluruh kesadaran Jean. Perlahan, lalu tanpa adanya aba-aba langsung membesar tanpa bisa ditahan.

Kesadaran Jean saat itu juga melemah. Tak mampu untuk membedakan lagi mana suara yang berasal dari dirinya dan mana yang dari luar. Semua terlihat sama, terasa sama. Bukan hanya pikiran yang dicoba untuk diambil alih. Yang paling mengerikan dari pengalaman tersebut adalah ketika tubuh fisiknya juga seakan-akan dapat dengan sebegitu mudahya diperintah oleh suara asing dari luar. Mereka mencoba untuk berbicara dan satu demi satu Jean diambilnya. Pertama pikiran lalu perasaan kemudian ingatan , emosi, ambisi, nama, diri, identitas semua mereka lahap tanpa pernah merasa puas.

Tetapi di saat yang bersamaan Jean tahu mereka juga merasa luar biasa putus asa hingga mereka memutuskan untuk melakukan hal tersebut. Ketika mereka berusaha untuk mengkomsumsi Jean, di saat yang bersamaan Jean juga secara tidak langsung bersatu dengan para pemilik suara tersebut. Dan Jean dapat merasakannya. Perasaan ketika dicoba untuk dihapus perlahan. Melupakan siapa dan dimana ia berada sekarang. Ketakutan hebat datang menghampirinya ketika Jean kembali mengingat kenangan tersebut. Perutnya serasa seperti dikocok. Ia merasa mual. Aneh tanpa fisikpun ia tetap bisa merasa mual seakan-akan daripada pekerjaan ilmiah yang sedang terjadi itu lebih mirip dengan insting sebuah tubuh. Seakan badan masih mengingat bagaimana rasanya itu mual.

Perasaan yang tak ingin ia rasakan kembali. Apapun akan ia lakukan untuk tidak pernah merasakannya lagi. Sekali itu saja sudah cukup tak mungkin ia bisa selamat untuk kedua kalinya jika hal tersebut kembali terjadi. Ia mengetahui persis apa yang mereka rasakan dan ia juga mengerti apa yang harus ia lakukan jika itu sampai terjadi padanya. Ia juga akan melakukan hal yang sama. Berusaha untuk tidak terhapus. Bagaimanapun caranya. Ia akan melakukan apapun untuk bisa mendapatkan kembali jejak-jejak dirinya. Serpihan apapun yang bisa ia dapat bahkan jika serpihan itu bukan miliknya. Tak masalah, ia bisa mengambil milik orang lain dan kemudian ia gunakan selayaknya punya sendiri. Apa yang paling ia inginkan saat itu adalah kembali merasa. Kembali memiliki identitas diri sendiri. Tidak kembali seperti binatang dan tidak memiliki akal budi.

Hal tersebut yang paling Jean ingat ketika bercampur dengan para pemilik suara. Mereka yang hidup dalam gelap. Bayangan tak berwajah yang hanya bisa berteriak memohon dan mengkomsumsi segala hal hanya untuk dapat hidup lebih lama sedikit saja. Walau hanya untuk memperpanjang beberapa detik. Itu sudah cukup sebagai alasan untuk melakukan apa yang mereka lakukan. Jean mengerti bahwa ia benar-benar beruntung bisa terbebas dari mereka sebelum benar-benar diambil alih oleh mereka. Satu badan dengan banyak yang mengisi. Satu badan yang terbagi dari serpihan-serpihan kesadaran yang berbeda. Yang dimiliki oleh banyak makhluk. Bukan hanya manusia tetapi juga yang lainnya. Baik yang bisa kau temukan di dimensi ini dan juga dari dimensi luar.

Seperti monster yang dibuat hidup dengan cara menjahit satu nyawa dengan nyawa yang lainnya. Ia menjadi tidak punya perasaan akan sebuah diri. Bagaimana mungkin ia bisa memilikinya? Jika ia saja tidak yakin dengan bentuk yang seharusnya mereka pakai. Tapi tak apalah selama mereka masih bisa merasa masih bisa menggunakan indera mereka seberapapun singkatnya itu. Bukan masalah selama mereka bisa melepaskan rasa rindu dari semua faktor eksternal. Di lain waktu mereka akan bahagia untuk bisa kabur dari itu semua, tetapi untuk saat itu saja apapun akan mereka berikan untuk bisa memilikinya kembali.

Tetapi tiba-tiba di saat itu juga Jean bisa merasakan satu kesadaran yang sangat familiar dengannya. Hampir seperti kesadaran milik sendiri. Satu entitas yang bisa ia lihat di tengah ombak laut kesadaran. Ia bisa melihat jelas rupa itu, mampu untuk membedakan dia dari yang lain. Suara yang mengembalikan dirinya untuk bisa sadar. Untuk bisa membedakan mana yang memang dirinya dan mana yang adalah dari luar. Suara yang ia pikir tak akan lagi bisa ia dengar. Yang akan ditukar apapun oleh Jean asal ia bisa mendengarnya untuk satu kali lagi saja. Suara wanita yang telah ia khianati. Suara Jeanne.

Dan menangislah Jean. Ia menangis sejadi-jadinya sesekali sesenggukan. Bagaimana bisa ia, mengirim Jeanne ke tempat seperti itu. Di manakah janjinya untuk bisa terus bersama. Sekarang ia malah membiarkan Jeanne tinggal di dalam kegelapan dan meninggalkannya. Meninggalkan ia untuk berjuang sendirian, untuk berusaha mempertahankan diri atau apapun yang masih tersisa di dalam. Sedangkan Jean, dirinya hanya merasa senang karena tak lagi harus merasakan siksaan itu bahwa ia sudah aman dan tak perlu lagi ke tempat itu bila ia tak ingin. Tetapi bagaimana mungkin ia bisa meninggalkan Jeanne di sana. Ia sudah gagal untuk memenuhi janjinya di kehidupan dan sekarang ia mendapatkan kesempatan kedua untuk membenarkannya. Mungkin memang inilah yang ingin hatinya katakan pada Jean.

Selayaknya kompas, Hatinya memang tahu apa yang sebenarnya ia inginkan. Ia ingin menyelamatkan Jeanne. Tak ingin lagi mengulangi kejadian yang sama dengan sebelumnya. Tak ingin lagi melihatnya terjadi. Tak ingin lagi merasakan perasaan tanpa kekuatan. Ia ingin bisa menyelamatkan Jeanne seberapapun mustahilnya hal itu dengan kemampuannya sendiri. Dengan keinginan bebasnya. Bukan karena tanggung jawab tetapi karena ia ingin.

Jean tahu bahwa setelah kau bercampur dengan mereka tak ada lagi jalan keluar. Akhir dari segala harapan. Tetapi jika memang ini yang harus dilakukannya maka mungkin sebuah keajaiban akan bisa terjadi. Dan jika memang bisa, maka ia ingin mengambil kesempatan itu seberapapun kecilnya. Bahkan jika itu tak lebih dari sebuah angan-angan, keinginan dari orang yang sudah meninggal. Ilusi semata yang mungkin akan ia ulang terus-menerus di lingkaran tanpa akhir. Bisa saja ini adalah hukuman untuknya karena semasa hidup telah gagal memenuhi janji. Sekarang ia dikutuk untuk terus melakukan hal yang sia-sia berulang-ulang. Bukan hanya melakukannya tetapi juga melihat dan menghidupinya sekali lagi. Momen dimana ia tak berdaya, tanpa kekuatan untuk mencegah hal buruk yang ia tahu akan segara menjatuhi diri Jeanne.

Mengetahui tetapi tak mampu bertindak, Neraka yang harus ia hidupi berulang-ulang dengan harapan semu yang mungkin ada mungkin juga tidak. Seperti orang bodoh gila yang melakukan hal sama berkali-kali dan berharap dapat mendapatkan hasil yang berbeda. Tetapi jika ada sedikit saja kemungkinan untuk bisa membenarkan kembali apa yang telah ia perbuat sebelumnya maka sebarapapun kecilnya kemungkinan itu, maka akan ia ambil. Akan ia pertaruhkan semua. Tak lagi ia berlari menjauhi masalah dengan alasan. Tak lagi ia pergi meninggalkan Jeanne di saat ia membutuhkannya. Kali ini ia justru akan berlari langsung berhadapan dengan masalah yang ia miliki. Biarlah jika ternyata ia gagal dan harus menjadi bagian suara-suara tersebut. Lebih baik menyesal ketika sudah selesai mencoba melakukan sesuatu daripada menyesal karena tidak pernah mencobanya.

“Kau terbangun juga akhirnya. Bagaimana? Sudah merasa baikkan?” Suara seseorang terdengar.

Lihat selengkapnya