Fragments

Ming
Chapter #9

Chapter IX

Melayang, terbang seakan ia tidak memiliki bobot tubuh. Melayang di antara mimpi dan sadar.

Ia selalu menyukai hal ini di mana pikirannya belum sadar betul untuk bekerja tetapi di saat bersamaan tidak lagi sedang tertidur. Melayang, mengambang di antara dua dunia, di mana tingkat kesadarannnya belum lagi saling membanjiri. Di mana belum ada seseorang yang bernama Joanne. Joanne si tuli, Joanne si rambut merah, Joanne si anak yatim piatu. Namun, seperti pagi-pagi sebelumnya, ayam-ayam mulai berkokok, membangunkannya dari mimpinya. Kesadaran lalu mulai memasukinya. Ketika Joanne membuka matanya, cahaya matahari sudah mulai memasuki kamarnya lewat jendela di samping tempat tidurnya.

Masih terbaring, Joanne mengangkat tangannya ke depan wajahnya, seolah-olah mencoba untuk menggenggam cahaya matahari yang bebas melewati sela-sela jarinya. Mata birunya menatap jari-jarinya secara saksama. Dari dulu, ia memang tidak pernah terlalu menyukai jari-jarinya, mereka terlalu pendek dan kurus menurutnya. Ia lebih suka jika mereka agak panjang sedikit seperti para pemain piano yang pernah ia lihat dulu bersama orang tuanya. Dulu, ibunya memang pernah bertanya apakah ia juga ingin belajar memainkan piano. Tetapi walau pada saat ia masih kecil sekalipun, dengan bayaran yang diterima ibunya, ia sadar betul bahwa tidak mungkin bagi dirinya untuk bisa belajar memainkannya. Sekolah musik itu mahal, belum lagi mereka juga perlu membeli alat musik itu sendiri jika ia memutuskan untuk bersekolah di sana.

Entah kapan hal itu terjadi. Terasa sudah lama sekali. Jauh sebelum ia kehilangan kemampuannya untuk mendengar. Jauh sebelum ibunya meninggal dan ia diharuskan tinggal di panti. Pemain piano? Bahkan Joanne sudah lupa bahwa dirinya pernah memimpikan hal tersebut. Kenapa pula ia tiba-tiba teringat akan hal ini. Mungkin karena mimpi buruk yang dialaminya akhir-akhir ini. Ia ingin lari dari mimpi tersebut dan mencoba menimbunnya dengan kenangan lain. Tetapi pemain piano? Jika saja ibunya masih hidup, jika saja ia masih memiliki kemampuan untuk mendengar. Mungkin masih ada kemungkinan baginya untuk bermain piano.

Tersenyum, ia lalu bangun dan duduk di atas kasurnya sambil melihat ke sekeliling kamarnya. Kamarnya tidak terlalu luas. Tetapi cukup untuk ukuran satu orang. Selebih lagi ketika ia mencoba untuk membuatnya senyaman mungkin. Dengan hanya mengisinya dengan barang-barang yang memang dia butuhkan, hal itu cukup untuk membuat kamarnya terlihat lebih luas dari yang sebenarnya. Satu lemari pakaian, satu ranjang dan satu laci meja kecil yang ia letakkan di samping ranjangnya adalah satu-satunya furnitur yang bisa kau temukan di kamarnya. Kecuali jika kau menambahkan foto keluarga dan lilin kecil di atas meja sebagai furnitur juga.

Matahari bersinar semakin terang, menandakan hari sudah mulai telat. Menguap, ia berpikir sudah saatnya ia bersiap-siap. Ia lalu bangun dari kasurnya dan berjalan menuju lemari pakaiannya. Di dalam lemari, pakaiannya memang tidak ada yang bisa dibilang terlalu mewah tidak seperti beberapa kenalannya. Tetapi satu hal yang membuat ia gembira, ia bisa dengan bangga berkata apapun yang ada di dalam kamarnya, termasuk pakaian-pakaian ini adalah hasil dari jerih-payahnya.

Lihat selengkapnya