FRANCISCAN GARDEN

Marlina Permatasari
Chapter #1

Aku Tidak Suka Kopi #1

Mungkin bukan karena gula. Mungkin karena aku yang tidak bisa mengukur seberapa pahit yang kubutuhkan untuk bertahan.

Rasanya tidak berubah meski lima sendok gula sudah tercampur di dalamnya. Pernah terlintas, kenapa orang banyak memesannya sebagai teman pelengkap, saat mereka di kedai. Melihat warnanya yang hitam saja membuatku ingin muntah. Apalagi rasanya sangat pahit. Terkadang jika ingin lebih soft, rasanya asam. Itu yang juga ingin kutanyakan pada Binta. Bagaimana dia bisa menikmatinya dengan bersantai dan bergurau bersama teman-teman?

Aku memang bukan penikmat kopi. Hal itu membuatku tidak pandai meracik kopi dengan benar. Tidak seperti Binta. Sepanjang berkumpul bersama teman kuliah, dia selalu memesan secangkir bahkan dua cangkir kopi. Dia menyukai aromanya. Dia Bilang, bau kopi yang keluar bersama kepulan asap dapat membuat pikiran menjadi lebih fresh. Aku tidak yakin tentang hal itu.

Rasanya tetap tidak enak, masih pahit dan baunya sungguh memusingkan. Aku tidak suka kopi. Tapi pekatnya seperti mengikatku kuat. Aku mulai bertanya-tanya, apa otakku terbalik, atau terdapat syaraf otakku yang putus, hingga melakukan hal yang tidak kusukai?

Kopi itu telah melesat pergi ke perut. Baunya masih membuatku pusing dan mual. Lalu bagaimana bisa Binta berkata jika bau kopi seperti aroma terapi yang mempunyai merk sendiri? Syaraf penciumanku yang sudah tidak berfungsi, atau penciumannya yang rusak?

Bagiku Binta barista yang handal. Entah bagaimana dia meraciknya, tapi teman-teman kuliah merasa puas dengan kopi buatannya. Terkadang aku berpikir jika dia membuat kedai kopi seperti kedai-kedai yang sering kita kunjungi, mungkin akan banyak yang datang bukan hanya sekedar mencari tempat untuk hangout. Tapi benar-benar menikmati kopi. Sepertinya.

Ponselku yang berada di atas meja berbunyi nyaring. “Ok, ntar aku tangani,” kataku di balik telepon. “Ok,”

Aku membawa ponselku kembali ke kamar yang berada di lantai dua. Kasur yang dibalut seprei putih itu, telah menjadi hantaman tubuhku. Aku menatap kosong langit-langit kamar. Sepertinya aku memang sudah gila. Semua yang terjadi, sesuatu yang kubenci, termasuk pekerjaan kini menjadi lingkaran yang menyesatkanku.

Aku telah berhasil membuat perusahaan arsitek, seperti impian Binta. Melakukan semua ini, seperti hal semu. Masih tanpa arah meski semua terlihat sempurna. Sisi hatiku yang lain berkata, “Ini belum lengkap. Belum sempurna. Karena apa? Karena Binta tidak di sini. Karena aku harus menyeduh kopi. Dan karena harus menjalani impian ini sendiri.”

Mungkin aku memang sudah gila, kupikir begitu. Seolah aku ingin menangis, tapi air mata mengering, atau aku terlalu malu untuk menangis karena aku seorang laki-laki. Bedebah dengan pikiran itu, tapi air mataku benar-benar tidak keluar saat aku ingin menangis.

Aku bangkit dan merapat ke jendela. Melihat jalanan kompleks yang sunyi dengan bekas hujan. “Aku ingin bertemu Binta,” gumamku. Tidak ada yang ingin kulakukan lagi. Meski memarahinya dan membentaknya, seolah hal yang paling kuinginkan sekarang. Lalu aku akan memeluknya dan berkata tentang rindu yang menyakitkan. Laki-laki angkuh, gila, dan bodoh ini benar-benar merindukannya. Binta, di mana dia? Hidup seperti ini, benar-benar menyiksa.

Kini, aku hanya dapat hidup dalam bayangan Binta. Apa ini sebuah keputusasaan? Apa suatu keterpurukan? Atau apa aku sedang menghukum diriku sendiri karenanya? Aku tidak tahu. Tapi Binta harus tahu, dan harus menjawab semua pertanyaanku.

“Lu bener-bener dah gila! Ngapain lu di dekat jendela? Jangan-jangan lu mau bunuh diri!”

Teriakan Martin sedikit membuatku tersentak. “Kenapa ke sini?” tanyaku.

Martin sudah duduk santai di tempat tidur sambil memegang soft drink yang diambil dari almari es. “Kamu nggak pernah kunci pintu. Kalau ada maling gimana?”

“Kamu malingnya. Soft drink,” kataku.

“Satu-satunya yang ingin kumaling di sini cuma Rea.”

“Jangan harap,” sungutku saat Martin menyebut nama adik perempuanku.

Martin adalah sahabatku, dan sahabat Binta. Dulu kami satu kampus. Masih ada dua teman lagi, yaitu Emi dan Agus. Satu-satunya orang yang bekerja denganku adalah Martin. Seharusnya, Binta juga. Kami yang berasal dari fakultas sama. Arsitektur. Tapi Binta menghilang.

Biasanya anak-anak menjadikan kamarku sebagai markas. Dan orangtuaku sangat menyukai mereka, terutama pada Binta. Karena itu Binta bisa datang kapan pun ke sini. Aku bahkan bisa mati terkaget, saat Binta sudah menonton televisi dengan semangkuk sereal yang diambilnya di kulkas. Bahkan Binta sangat dekat dengan Rea. Mereka penguasa rumah ini, jika bersama.

Lihat selengkapnya