Hujan masih menyelimuti Yogyakarta, saat aku sampai di kantor selepas makan siang. Sebenarnya aku ingin pulang dan rebahan karena kepalaku pusing akibat begadang semalaman. Tapi ada proyek hotel yang harus kuselesaikan. Martin yang memenangkan tender itu saat berkompetisi dengan perusahaan arsitek lainnya. Jika Binta pandai melarikan diri, maka Martin pandai bernegosiasi.
Aku menyapa beberapa karyawanku sebelum masuk ke ruang kerjaku yang berada di lantai dua. Aku menyalakan AC di ruangan yang penuh dengan tempelan desain di sisi kiri, bersebelahan dengan whiteboard. Ada meja besar berbentuk segi empat, di bagian tengahnya sebagai aquarium. Martin meletakkan sepuluh ikan nemo warna orange dan sepuluh warna biru.
Lu butuh pacar
Aku tersenyum melihat memo yang tertempel di layar komputer. Ini pasti kerjaan Martin. Dia memang perhatian padaku. Saat Binta pergi dan aku berantakan selama tiga bulan, Martin yang selalu menemaniku. Hingga akhirnya Bram, ayahku memberi usul agar aku membangun kantor arsitek, agar aku tidak menghancurkan hidupku dengan menjadi pengangguran. Bram menjual beberapa lukisannya, dan memberikan uangnya padaku. Tapi, Bram seperti Binta. Mereka pandai melarikan diri.
Riyani, ibuku, menggugat cerai Bram dua tahun lalu. Tepatnya sepuluh bulan setelah Bram kecelakaan. Kakinya lumpuh sehingga harus berada di kursi roda. Awalnya kehidupan kami masih baik-baik saja. Tapi aku melihat Riyani yang terkadang menangis sendirian. Kurasa Bram juga melihat. Lalu sepulang aku dari Jakarta setelah menyelesaikan proyek, aku menemukan rekening tabungan Bram dengan sepucuk surat yang berisikan persetujuan cerai di atas televisi. Sebulan setelahnya, mereka bertemu di pengadilan untuk pengesahan.
Aku mengempaskan tubuh di kursi. Menyandarkan kepala ke belakang dan membuka komputer untuk melihat desain konsep yang baru kubuat. “Ok...mari kita lanjutkan,” gumamku.
“Bukankah seharusnya ada saluran air di bagian samping?”
Aku tersentak mendengar Martin yang sudah berada di ruanganku. Dia sudah membawa hard copy dari desain yang kubuat kemarin. Martin menunjuk bagian samping lobi hotel. Aku mengangguk, ada kesalahan. Saluran air dari dapur lobi seharusnya ada, dan aku tidak membuatnya.
“Ah... benar juga. Beritahu bagian design.”
“Ok!”
Martin kembali beranjak dari ruanganku. Tapi sejenak dia berbalik.
“Ada apa?” kataku.
Martin hanya menyipitkan matanya.
“Heh!” seruku.