Frankfurt to Jakarta

Leyla Imtichanah
Chapter #3

#3 Masakan Zefa

Sesampainya di lantai paling atas, terlihat tepat di samping depan pintu deretan sepatu Zefa yang terjajar rapi. Kubuka pintu, "Assalamu'alaikum." Aku masuk dengan kaki kananku terlebih dahulu. Ibuku selalu membiasakan ritual itu sejak aku masih kecil. Selalu masuk rumah dengan kaki kanan terlebih dahulu, dan mengucap Assalamu'alaikum.

"Alaikumsalam, welcome honey. Aku di dapur," jawab Zefa dengan suara khasnya yang sedikit serak-serak basah. Dulu aku heran mengapa Zefa menolak untuk mengikuti seleksi tarik suara bergengsi seperti Indonesian Idol misalnya. Menurutku suara Zefa yang serak dan khas itu dapat menyaingi Anggun C Sasmi ketika ia bernyanyi. Namun Zefa lebih memilih berkutat dengan setrum, serta arus listrik ketimbang bernyanyi di atas panggung. Menjadi seorang Engineer lebih membanggakan menurutnya.

Sejenak aku menyapukan pandangan melihat keadaan sekeliling. Sebuah apartemen yang begitu rapi. Itulah mengapa aku suka tinggal serumah dengan Zefa, karena dia begitu apik dan selalu menyenangi kebersihan.

Apartemen yang nyaman dan lux. Ruang tamunya yang terang, diterangi oleh cahaya sinar matahari yang masuk dari sebuah kaca lebar di sisi samping ruang tamu. Kaca lebar itu juga berfungsi sebagai pintu menuju balkon seluas 12m2 yang begitu indah dengan pemandangan jalan sekitar, rumah-rumah serta gedung-gedung pencakar langit di sekitarnya. Ruang tamu yang berhawa modern, terdapat sebuah sofa kulit lebar berwarna hitam dengan tiga buah bantal bercorak zebra, aku menghempaskan tubuhku di atasnya. Sofa empuk yang begitu nyaman. Tepat di tengah ruangan tergantung lampu kristal berbentuk sedikit melonjong menyerupai lentera dengan kerlip kristal yang memantulkan cahaya gemerlap di atas lantai.

Di dinding tepat depan sofa, terpasang sebuah televisi LED layar lebar dengan dua pengeras suara berdiri di samping kanan kirinya. Sebuah meja kotak minimalis berisi perangkat home theater tepat di bawah tv. Dua buah bangku hitam yang juga terbuat dari kulit, dan sebuah meja kayu yang terlihat antik berdiri di tengah sofa dan kedua bangku. Lantainya dilapisi oleh kayu maple yang terasa hangat di kaki. Belakangan baru aku tahu. Kalau sistem pemanas ruangan dipasang tepat di bawah lapisan lantai. Itulah yang membuat lantai selalu terasa hangat walau di musim dingin sekalipun.

Aroma masakan yang dibuat Zefa menjalari hidungku. Aku beranjak dari sofa, menghampiri Zefa yang sedang berada di dapur. Dapur yang cukup luas dan membuatku terkesima. Dindingnya berwarna kuning kecoklatan. Dapur yang sangat lengkap dan tergolong mewah, untuk ukuran dapur mahasiswa. Kompor listrik empat tungkufull stainless steel lengkap dengan oven di bawahnya, kulkas besar dua pintu dengan model terbaru yang gagang pintunya berada di tengah, microwave, dispenser, mesin pencuci piring, mesin pembuat kopi, alat pembakar roti, dan alat penanak nasi. Berderet rapi di kabinet dapur yang berwarna hitam, dan mejanya dilapisi marmer Italy berwarna coklat yang mengkilap.

Di tengah dapur ada sebuah rak lemari besar yang berfungsi sebagai penyimpan alat-alat dapur dan juga berfungsi sebagai meja makan. Kursi-kursi berkaki tinggi berderet cantik di pinggiran meja. Mengingatkanku akan suasana bar yang pernah kulihat di foto-foto majalah.

"Pasti laper, kan? Gue bikin spaghetti bolognes nih." Zefa memecah kekagumanku akan dapurnya yang mewah. Suatu saat, jika mempunyai rumah sendiri, aku ingin membuat dapur seperti ini. Tak menggubris pertanyaannya soal makanan, aku justru bertanya yang lain, "Ini bayar berapa Zefbuat sewa apartemen perbulannya?"

Zefa melirikku dan tersenyum, sambil mengaduk saus bolognes di atas tungku listrik, ia menjawab, "€ 760 per bulan, tapi belum termasuk biaya listrik, air sama Heizung (pemanas). Tergantung pemakaian sih Nda, yah kira-kira perbulannya €1050an lah. Loe cukup bayar aja gope' ke gue, sisanya kalo ada lebih gue yang nombokin."

Aku mengangguk-angguk tanda setuju, €500 per bulan untuk apartemen senyaman ini, aku rasa itu sangat reasonable.

Fedi datang dengan wajah memerah serta napas yang ngos-ngos-an, "Mau ditaro di mana ini kopernya? Langsung kutaro di kamar aja?" tanya Fedi sembari menyeka tetes keringat di dahinya, mungkin dia kelelahan mengangkat koper-koperku yang beratnya masing-masing nyaris 35 Kg. Bergegas aku bangun dari dudukku dan menyeret sebuah koper ke kamar, Zefa mengikuti dari belakang.

"Eh kamar loe yang sebelah kanan yah Jeng manis, yang ada kamar mandinya." Zefa menunjuk sebuah kamar yang terlihat lebih besar dan luas dibandingkan dengan kamarnya.

"Kok? Kan loe yang bayar lebih banyak, harusnya loe dapet yang lebih gede dong!" tanyaku heran.

Lihat selengkapnya