Rangkaian bunga putih melingkar membentuk bandana, terselip rapih di telinganya. Sangat sempurna menghiasi mahkota yang tergerai panjang, cokelat, dan bergelombang di kepala si White. Semuanya putih. Sepatu, kaos kaki, cardigan, tas, gelang dan cincin yang ia kenakan. Bahkan, kulitnya putih pucat, tipis nyaris transfaran. Mungkin, akan seberlebihan itu jika orang mendeskripsikan warna kulitnya.
Si White berjalan di pinggir lapang olah raga. Seketika siswa-siswa yang seharusnya mengejar bola, beramai-ramai mengalihkan perhatian pada si White. Selalu dengan tatapan kagum. Sedangkan siswi-siswi yang tengah menonton permainan futsal di sana, mulai berbisik-bisik gaduh. Selalu dengan tatapan iri.
Tapi, Lily si White tidak peduli. Ia tetap melangkah lurus, juga dengan tatapan lurus tanpa ekspresi. “Huffh….” Hanya helaan nafas pelan yang berhembus dari bibir pink tipisnya.
Satu tahun sudah Lily menjadi salah satu siswi di sekolah swasta unggulan Sky High School. Dan selama itu pula, ia konsisten dijuluki ‘White si boneka hidup’. Tidak salah, memang namanya Lily White Blossom. Tidak salah juga, pasalnya ia memang lebih banyak diam tanpa ekspresi, tak ubahnya boneka. Tentu saja itu julukan di belakang si White. Karena, di depannya semua orang tetap memanggil Lily.
Tibalah Lily di depan sebuah pintu bercat cokelat dengan tulisan XI IPA 1 di atasnya. Itu kelas yang dicarinya. Kelas baru di tahun ajaran baru. Tentu teman-teman baru pula.
TEEETTT! TEEETTT!
Tanpa aba-aba, suara bell merambat melalui speaker di setiap sudut sekolah. Tepat! Nyaris saja Lily terlambat. Tapi, Lily masih mematung di depan pintu saat siswa-siswi lain berhamburan meninggalkan lapangan dan berlomba masuk ke dalam kelas masing-masing. Setelah lorong di depan kelasnya sepi, barulah Lily melangkahkan kakinya masuk.
Tatapan seisi kelas tertuju pada Lily. Entah keberuntungan atau kesialan bisa satu kelas dengan si White.
Lily membalas satu persatu tatapan mereka dengan ekspresi tenang tanpa senyum. Dilangkahkan kakinya menuju kursi kosong di pojok kelas. Memang kebanyakan anak IPA dipastikan akan berebut kursi paling depan, tapi Lily justru bersyukur kehabisan kursi di jajaran depan. Bahkan, tadi ia sengaja berlama-lama menunggu di depan pintu agar mendapatkan kursi favorit di pojokan belakang.
~~~
Hari ke-1 di Sky High.
“Perkenalkan, saya Indra Ragawisti. Kalian bisa panggil saya bu Indra. Mungkin, di kelas sepuluh kalian belum pernah bertemu dengan saya karena saya memang hanya mengajar Matematika untuk kelas sebelas.” Dimulai dari perkenalan seorang guru perempuan di depan kelas. “Dan sekarang, selamat datang untuk kalian semua di kelas sebelas IPA satu. Mulai sekarang, saya akan menjadi wali kelas kalian. Semoga kita bisa bekerja sama dan membawa kelas ini menjadi kelas favorit,” pungkas Indra.
Semua anak tersenyum hangat pada wali kelas baru mereka yang terbilang masih muda dan cantik. Penampilannya modis dengan rambut hitam sebahu. Selain itu, ia juga tampak seperti guru yang lemah lembut, A.K.A bukan guru Killer.
Indra yang baru akan duduk di kursinya mengambil secarik kertas di atas mejanya. “Oh ya! Jumlah murid di setiap kelas ada 30 orang. Tapi, di kelas ini disisakan satu kursi kosong.
Lily terpaku dengan bola mata mengedar saat semua kepala kompak menengok ke belakang. Tepatnya, pada satu kursi kosong di samping kanannya.
“Nah!” Indra kembali menarik perhatian di depan. “Sekarang, kita sambut teman baru kita.”
Beberapa detik setelah Indra menoleh ke arah pintu, tidak juga ada yang muncul. Indra tersenyum kaku pada semua muridnya seraya berjalan menuju pintu. Belum sampai, seorang anak laki-laki akhirnya masuk.
“Ini dia!” cetus Indra sumringah. “Ayo, masuk!”
Yang terlihat masuk adalah sosok anak laki-laki jangkung. Ia mengenakan hoodie hitam, senada dengan sepatu dan tas selempangnya. Senyum manisnya lebar, menawan hati semua siswi di kelas. Rona sehat terpancar dari kulitnya yang langsat. Tatapan si anak baru ini kemudian terhenti di pojok kelas. Mungkin, memang kursi pojok selalu menarik perhatian. Walaupun sebenarnya, lebih karena penghuni kursinya yang menunjukan ekspresi berbeda dari semua calon temannya di kelas itu. Datar dan dingin.
“Silahkan perkenalkan diri kamu,” kata Indra, mengambil kembali fokus si anak baru.
“Eh? baik, bu.” Senyum ramah kembali si anak baru berikan pada seisi kelas. “Sebelum saya memperkenalkan diri, saya minta kalian tidak tertawa, ya?” Pertanyaan sok akrab yang langsung menunjukan pribadinya yang hangat.
“Emangnya kenapa?” tanya Ziara, gadis manis berambut bop yang duduk tepat di depan meja guru.
Siswi-siswi lain pun mulai tersenyum sembari berbisik menebak-nebak. Sedangkan siswa-siswa tampak sama sekali tidak peduli.
“Karena nama saya Aloe, Aloe Black Calla,” jawab si anak baru dengan mantap. Seperti yang ia takutkan, kelas itu hening selama beberapa detik, kemudian semuanya kompak menghamburkan tawa. Tapi, pandangannya menangkap satu sosok di pojok kelas yang tidak tertawa, bahkan sudut bibirnya tidak bergeser. Masih tanpa ekspresi seperti tadi.
“Black! Blacky! Doggy! Well, that’s my bulldog’s name! Haha!” Celetukan Arai, siswa bule berambut pirang namun berkulit cokelat terdengar dari sebelah kanan kursi kosong di belakang. Bersebrangan dari kursi Lily di pojokan.
“Black Calla atau Blackcurrent?!” Celetukan lain terlempar dari Konowa, anak tampan berwajah Jepang yang duduk di kursi depan, dekat pintu.
Itu beberapa ejekan yang terdengar jelas. Selebihnya, tidak terdengar karena teredam gaduh tawa yang masih memenuhi gendang telinga. Aloe si anak baru hanya menyengir kaku sembari menggaruk tengkuk. Ia sudah terbiasa mendapat respon seperti itu karena nama unik pemberian ayahnya.
“Hei, jangan begitu! Nama itu doa dari orang tua untuk anaknya. Jangan ditertawakan,” sela Indra di tengah gaduh dengan suara ditinggikan. “Lagi pula, sekarang di kelas ini kita punya sepasang pemilik nama unik. Waaah….”
Sontak saja semuanya kembali menengok ke pojok belakang. Benar juga, sekarang di kelas mereka ada si pemilik nama tengah White and Black. Dan nama mereka sama-sama berasal dari kerajaan tumbuhan. Aloe dan Lily. Seperti itu isi kepala seisi kelas.
Aloe tidak ketinggalan mengikuti arah pandangan semua orang. Tapi, gadis yang menjadi pusat perhatian justru mengedarkan tatapan datar. Membuat kerutan heran disertai penasaran muncul di dahi Aloe. Dari tadi ekspresinya gak berubah-berubah….
“Gak apa-apa, kok bu,” sahut Aloe akhirnya, meninggalkan sejenak gadis pojokan itu. “Saya sudah biasa diketawain, heheh.”