Pelukannya selalu hangat.
Di ranjangnya yang dihiasi kelambu putih, Lily tengah bermanja-manja pada bundanya. Bunda yang masih sangat muda dan jelita, Bunda yang seorang sosialita juga pengusaha muda pemegang tangkup bisnis ritel keluarga, dan Bunda yang selalu riang, kadang bersikap terlalu konyol untuk ukuran wanita usianya. Sesempurna itulah Bunda Angela Gunawan di mata Lily.
Sehangat apa pun pelukan Bunda, Lily tetap merasakan ada kekosongan yang dingin. Karena, Lily merindukan pelukan Ayah yang bahkan rasanya sudah tidak ia ingat.
“Udah, donk…,” kata Ange (Enj) –begitu ia biasa disapa– “Bunda gak suka kamu manja gini,” lanjutnya. “Kamu udah sembuh, kok. Opa aja yang berlebihan sampai larang kamu ke sekolah hari ini. Soal asma kamu juga udah lama gak kambuh, kemarin kambuh karena kamunya yang bandel. Jadi, anggap itu hukuman buat kamu yang kabur-kaburan.
“Huummpp….” Lily hanya mendesah, masih enggan melepaskan Bundanya.
“Iya, Bunda tahu. Kamu kesal Bunda dan Opa selalu larang kamu ke luar rumah, selain ke sekolah. Tapi, itu kan, demi kebaikan kamu, sayang. Kamu cucu Opa satu-satunya, dan putri Bunda satu-satunya. Kita gak mau kamu kenapa-napa. Tapi, kalau alasan kamu ke luar rumahnya jelas, pasti diijinkan kok, sama Opa.” Ange menjelaskan selembut mungkin pada putrinya. “Oh ya! Bunda udah dengar cerita dari Opa tentang cowok itu. Kok Bunda malah penasaran, ya. Umm… ganteng, ga?”
Lily melepaskan pelukannya untuk melihat wajah penasaran Bundanya. Tampaklah cengiran di wajah cantik itu. Sontak Lily melancarkan delikan malas. Dasar bunda!
“Untung ada dia, ya? Kamu bilang sama Opa kalau cowok itu nolongin kamu yang asmanya tiba-tiba kambuh sepulang dari makam Ayah?” tanya Ange, lagi. Detik berikutnya, ia memicing jahil. “Itu… jujur atau bohong?”
“…”
“Ayolah….” Ange menghela nafas sembari mengusap pipi Lily. “Bunga Lilynya Bunda udah mekar, wanginya juga semerbak. Lily sayang, mau sampai kapan kamu menutup diri? Usia kamu ini waktunya untuk memperbanyak teman. Umm… pacar juga, hehe….”
“Ish! Bundaaaaa….”.
Rengekan manja Lily hanya disambut gelak tawa Ange.
~~~
Bola futsal menggelinding ke depan Aloe saat ia tengah duduk lesu di pinggir lapang olah raga, memisahkan diri dari siswa-siswi lain yang memilih berkerumun untuk menonton. Sebenarnya, Aloe tidak sedang menonton, hanya melamun. Tapi, justru tampang melamunnya menjadi bahan bisik-bisik kecentilan dari siswi-siswi di sana. Walaupun Aloe sama sekali tidak peduli.
“Aloeha!”
Hanya Arai yang memanggilnya begitu, dan masih begitu walaupun sudah Aloe peringatkan untuk tidak memanggilnya begitu. Begitu lagi!
Aloe mengangkat kepalanya. Terlihatlah Arai berlari menghampirinya dari tengah lapang. “Aehh… ngapain, sih! Ganggu gue lagi ngelamun aja!” gerutunya, malas.
“Ambilin bolanya,” pinta Arai. Tapi, akhirnya ia sendiri yang mengambil. “Lo ngapain ngelamun aja?”
“Lagi sembelit otak gue, mampet!” jawab Aloe sekenanya.
“Bhahahaha!” Arai tergelak. “Ini hari kedua lo di sini. Jangan pasang muka mendung gitu. Bisa-bisa, besok muka lo muncul di berita online. Tagline-nya… ‘Aloeha si murid baru korban bullying Sky High School’. Ahahaha! Lo bisa ngerusak reputasi sekolah kebanggaan kita yang terkenal ramah dan bersahabat ini”.
“Dasar Brazil KW! Lo bule paling bawel yang pernah gue temuin,” Aloe menimpali. “Korban bullying macam gue? Yang benar aja!"
“Udah! Dari pada muka lo makin suram, mending ikut main futsal! Ayo!” Tanpa menunggu persetujuan, Arai sudah menyeret Aloe ke tengah lapangan.
“Waaaa! Anak baru itu ikutan main!” Riuh mengawali masuknya Aloe ke tengah lapasangan. “Dia keren, yaaaa! Aaaaa….”
Aloe masih berwajah malas. Tapi, karena sudah berdiri di tengah lapangan olah raga yang menurutnya tempat keramat, secara ajaib semangatnya melonjak drastis. Aloe mulai bermain sepenuh hatinya, melesat ke sana-sini. Karena kecepatan berlarinya, tidak satu pun yang sanggup menghadangnya saat menggiring, mengoper, dan menendang bola. Sampai akhirnya, penonton beramai-ramai meneriakan… GOOLLL!
Tentu saja itu berarti kemenangan bagi tim kelasnya. Tidak heran, Aloe memang olahragawan serba bisa. Bahkan, ia mendapatkan beasiswa di sekolah elite itu karena prestasi olah raga tingkat Nasionalnya.
“Aloe hebattt!!!”
Dalam sekejap, Sky High memiliki idola baru.
~~~
Hari ke-3 di Sky High.
Masih pagi di lapangan olah raga. Sembari menunggu bell masuk pukul 8 tepat, Aloe, Arai, Konowa, dan beberapa teman dari kelas lain asik bermain futsal. Tentunya diiringi teriakan supporter di pinggir lapangan. Sebut saja mereka Supporter Alay (Supply).
Bisa juga diumpamakan dengan hukum ekonomi yang sedikit dipelesetkan menjadi seperti ini: (Supply tinggi : Demand rendah). Artinya, terlalu banyak penawaran cewek jomblo, namun permintaan dari cowok lebih rendah. Jadilah lonjakan cewek-cewek jomblo terbengkalai itu sibuk mengidolakan sosok keren di sekolah.
Sebenarnya, cowok keren di Sky High cukup banyak. Tetapi, bagi para Supply murid baru terlihat lebih fresh. Dan itu adalah Aloe yang sekarang tengah ramai-ramai mereka soraki. Arai yang notabennya kapten tim futsal tampan, dan Konowa yang juga tampan dengan mata sipitnya sampai dilupakan. Kelas XI IPA 1 pun secara tidak sengaja menjadi sarang anak populer. Termasuk White si boneka hidup.
“White!!!”
Seketika riuh di lapangan berganti hening saat Aloe tiba-tiba meneriakan nama itu. Aloe berlari ke pinggir lapang, otomatis semua mata mengikutinya. Di sana, Lily yang baru saja tiba langsung membeku. Rasanya seperti diberondong sinar laser mematikan dari puluhan pasang mata Supply. Walaupun begitu, Lily tetap tenang, kemudian melanjutkan langkahnya.
“Lily! White, tunggu!” Aloe bersikeras mengejar.
Tapi, Lily juga bersikeras menghindar. Ia berjalan cepat, sedikit berlari, dan akhirnya benar-benar berlari saat menyadari Aloe dengan kaki jerapahnya semakin mendekat.
Sekarang, tersajilah tontonan kejar-kejaran. Semua orang sampai terbengong-bengong. Walaupun setelah itu terjadi demo besar-besaran di hati mereka masing-masing. Bagaimana tidak? Mereka pikir, si boneka hidup itu berhasil memikat cowok keren sekolah, lagi. Dan lagi-lagi, ia masih sangat sombong sampai berani menghindari Aloe. Keterlaluan!
“White, tunggu!”