Fraud, Unleash The Truth

Gilang Riyadi
Chapter #3

Konfrontasi

Rafli masih betah duduk di teras rumah sembari mendengarkan musik yang tersambung lewat headphone. Lagu Mantan Terindah versi Raisa itu sepertinya sudah lebih dari lima kali didengar dan tak diganti ke lagu lain. Memang akhir-akhir ini sosok perempuan yang sudah tak jadi kekasihnya itu sering mampir ke sudut pikiran. Mungkin ia kangen, atau bisa juga hanya perasaan sesaat yang dua-tiga hari lagi akan hilang.

Suasana di jam satu siang itu cukup terik. Membeli minuman kopi kemasan di mini market seberang gang ternyata jadi pilihan tepat untuk melepas dahaga. Rafli meminumnya teguk demi teguk, kemudian kembali fokus ke ponselnya untuk melihat beberapa aplikasi sosial media seperti Instagram, TikTok, ataupun Twitter.

Hari Senin yang memang jadi jadwal libur pekanannya ini akan ditemani oleh Mufti, rekan kerja yang dua bulan lalu meninggalkan outlet Jatinangor untuk dimutasi ke Bandung. Dulu keduanya cukup dekat di mana Rafli seorang Promotor, sedangkan Mufti memagang bagian Reseller. Sama-sama berhubungan langsung dengan konsumen meski beda segmen, setidaknya keduanya harus tahu product knowledge atas barang yang dijual di toko agar tak salah memberi penjelasan.

Seperti yang minggu lalu sempat dibahas bahwa Mufti ingin menemui Tori secara langsung dan memberinya pelajaran. Rafli menebak, laki-laki dengan tinggi 175 cm itu sudah gatal sekali ingin menghajar pelaku fraud di tempat mereka.

Sebenarnya terkait kasus penggelapan uang penjualan itu masih menjadi abu-abu yang tak Rafli ketahui sepenuhnya. Sejak terungkap bahwa Tori memang terbukti bersalah, Gian dan Rei selaku pilar utama di toko tidak banyak bicara soal kronologi dan cara apa yang Tori lakukan. Usut punya usut, ini adalah perintah langsung dari Gustav yang mengingkan kasus ini jangan dibesarkan sebelum semuanya terbukti.

Satu hal yang Rafli ingat dan tak mungkin salah adalah di hari itu ia melihat ada hal aneh dari Tori yang biasanya semangat. Laki-laki berkulit sawo matang itu tampak murung sepanjang hari seperti sedang memiliki masalah besar. Jangankan memimpin tim, diajak bicara biasa saja seperti ogah-ogahan.

“Pak Tori sakit?” tanya Rafli yang sedang mengambil barang di gudang. Meskipun mereka hanya berbeda 3 tahun, tetapi panggilan Pak menjadi kebiasaan tersendiri di sini untuk menghormati seseorang yang jabatannya di atas kita.

“Saya nggak apa-apa,” jawab Tori singkat tanpa menatap lawan bicaranya. Ia mengitari rak tinggi yang diisi oleh kemeja flannel kotak-kotak yang masih terbungkus plastik dengan tatapan kosong.

Terburu-buru karena harus segera mengambil pesanan konsumen, Rafli meninggalkan Tori sendirian di sana untuk kembali fokus pada pekerjaan.

Dua hari setelah itu Tori tidak masuk kerja padahal bukan jadwal liburnya. Tidak hanya sehari, tapi sampai tiga hari. Dari situlah mulai tercium kabar tak mengenakkan bahwa ada kasus fraud di toko ini. Semua tentu kaget dan penasaran. Namun, dengan kalemnya Gian bilang bahwa itu cukup jadi urusan dirinya dan Rei sebagai pemimpin. Rafli dan rekan lainnya diperintahkan untuk tetap bekerja sesuai SOP dan memberi pelayanan terbaik untuk konsumen. Tak lebih dan jangan sampai kurang.

Waktu terus berjalan. Ternyata memang betul bahwa ada yang tak beres dari Tori, apalagi secara resmi Gustav mengumumkan bahwa Tori bukan lagi bagian dari tim mereka. Rafli juga tak akan lupa bahwa laki-laki yang jadi bahan perbincangan satu toko itu sempat datang pagi-pagi sekali menemui Gustav untuk mengembalikan seragam dan name tag.

Sialnya, ada hal yang lebih mengejutkan. Berselang dua minggu, Gian bicara face to face dengan Gustav di ruang brankas. Ada hal yang dibahas secara privat. Rei saja sebagai Asisten Supervisor sama sekali tak diajak.

Di hari yang sama setelah mengobrol empat mata, Gian pamit pulang di jam setengah enam sore setelah shift pagi selesai. Tak seperti biasa, kali ini ia langsung menuju parkiran belakang bahkan tanpa pamit dengan tim yang lain. Rafli mengikuti Gian sampai parkiran karena kebetulan ada barang yang ingin diambil dari bagasi motornya. Di sana laki-laki berkacamata itu bisa melihat ada beban berat yang tersorot dari mata atasannya.

Is everything okay, Pak?” tanya Rafli berhati-hati.

Baru saja menghela napas panjang tanpa sempat mengatakan sepatah katapun, derap langkah orang berlari terdengar semakin mendekat. Itu Rei, yang langsung menghampiri Gian dengan napas tak teratur.

“Gi, kenapa gini? Kenapa kamu harus ikut resign juga?” tanya Rei langsung pada inti yang membuat Rafli terperangkap sesaat pada ketidakmengertian. “Aku nggak bisa mimpin toko ini sendiri. Gi, please, stay di sini.”

Ingatan Rafli saat itu membuyar saat lagu yang didengar lewat headphone tiba-tiba berubah. Ternyata ada panggilan masuk.

Raf, udah siap? Gue tunggu depan gang, ya.”

“Oke, Mu. Tunggu gue di sana,” jawabnya tanpa melepas headphone.

Setelah berpamitan dengan orang rumah, Rafli segera menuju gang depan dengan setelah kemeja pendek navy polos dan celana jins hitam. Headphone yang tadi digunakannya saat menunggu kini digantungkan di leher.

“Lo serius banget nih mau ketemu Pak Tori?” tanya Rafli saat pertama bertemu Mufti di depan gang.

“Orang kayak dia udah nggak perlu dipanggil Pak, Raf. Dia bukan atasan kita lagi,” jawab Mufti cuek. “He’s an asshole now.

Lihat selengkapnya