Waktu istirahat untuk shift 1 tiba. Lima orang tim yang masuk pagi itu secara bersamaan kompak meninggalkan toko dan pergi ke halaman belakang dekat parkiran karyawan. Memang di sanalah tempat untuk berkumpul di tengah kesibukan bekerja. Beberapa dari mereka hari ini membawa bekal langsung dari rumahnya. Ada juga yang membeli sesuatu ke warung nasi sekitar yang kemudian dimakan bersama di sana.
Seperti biasa, Arin menghubungi pacarnya yang saat ini bekerja di Kota Semarang lewat panggilan video. Biasanya mereka akan saling bercerita tentang apa saja yang dilakukan hari ini. Kesibukan bekerja, curhat soal kehidupan, sampai hal-hal receh yang sebenarnya tak perlu dibahas.
Rei juga kebetulan ada di shift yang sama. Sebelum Arin melakukan panggilan video itu, keduanya berbincang sesaat sambil berjalan ke arah belakang. Hanya berdua, tanpa melibatkan orang lain lagi.
“Udah hari ke-10. Apa kita belum punya petunjuk tambahan, Pak?”
“Sampai saat ini belum, Rin. Terakhir saya dapat informasi dari Mufti dan Rafli, kalau Tori nggak tahu apa-apa soal hasil stock opname kemarin,” jawab Rei.
“Maksudnya dia nggak terlibat gitu? Nggak mungkin lah, Pak. Dia pasti sesuatu yang nggak kita tahu.”
“Entahlah, Rin. Nanti kita bahas lagi, ya. Tapi ingat, cuma kita berempat aja yang tahu,” kata laki-laki berambut belah tengah ini.
Memang seperti itulah aturan dalam penyelidikan kecil ini. Semakin sedikit yang tahu, maka semakin baik. Rei sudah cukup memberi kepercayaan kepada Arin, Rafli, dan Mufti. Tidak perlu lagi ada orang lain di dalamnya untuk meminimalisir bocornya informasi. Jika sampai hal ini terus menyebar bahkan sampai terdengar oleh Gustav, urusannya pasti akan bertambah panjang.
Empat puluh menit berlalu dari waktu awal mereka istirahat. Menu makanan yang dibawa dan dibeli tadi kini sudah habis, hanya meninggalkan beberapa sampah yang harus dibersihkan. Arin sudah menutup panggilan videonya beberapa menit lalu, sementara Rei masih asyik menatap layar ponselnya melakukan percakapan virtual dengan seseorang.
Lima orang dengan kaus putih dan celana jins navy itu kemudian melanjutkan saling mengobrol ringan. Membahas pekerjaan, termasuk soal konsumen yang tingkahnya kadang menyebalkan atau justru mengundang tawa. Sementara itu obrolan soal Gian yang seminggu ke belakang selalu mengisi waktu istirahat mereka, kini perlahan terganti dengan topik lain.
Setidaknya mereka harus move on dan membiasakan diri bekerja tanpa sosok Supervisor yang dulu. Meski memang sekarang belum ada pengganti, tapi ada perbantuan yang mengisi posisi tersebut yang diambil dari cabang di Bandung. Sedangkan untuk posisi Tori kini digantikan oleh Novan, salah satu tim di Jatinangor yang sebelumnya berada di posisi bagian Gudang. Oleh karena itu Rei tak perlu lagi mengerjakan semuanya sendirian.
Waktu istirahat tinggal sepuluh menit lagi. Satu per satu dari mereka mulai meninggalkan area istirahat dan menuju ke dalam toko untuk Bersiap bekerja lagi. Kini hanya menyisakan Rei dan Arin di tempat itu untuk kembali membahas soal Gian.
“Apa kita yakin, Pak, bisa buktiin kalau Pak Gian nggak bersalah?” tanya Arin.
“Saya masih berusaha, Rin.”
“Terus gimana sama alur keluar masuknya barang? Apa ada yang mencurigakan?”
“Saya udah coba cek histori semuanya dari terakhir kita stock opname 4 bulan lalu. But, everything seems fine. Semua berjalan sebagaimana mestinya. Barang dari Gudang Nasional, masuk ke outlet, display, gudang, penjualan, saya rasa nggak ada yang aneh.”