“Berapa kali saya bilang kalau saya nggak butuh permintaan maaf kamu?”
“Pak Gian, tolong, saya bukan sekadar mau minta maaf, tapi saya mau ngobrolin sesuatu juga.”
“Udah cukup, Tori. Kita punya batas yang nggak bisa sembarang dilewati lagi.”
Tiga puluh menit lalu pada akhir pekan di mal Jatinangor Town Square, Gian sengaja datang ke sana untuk sekadar mengisi waktu luang. Rencananya ia ingin menonton salah satu film yang baru tayang di bioskop dan menjadikannya sebagai ulasan yang nanti ditulis di blog pribadinya. Sejak pengunduran diri itu, ia memang belum mendapatkan pekerjaan tetap lagi. Menulis di blog yang jadi hobinya beberapa tahun ke belakang kini diasah lebih tajam agar ia bisa mendapat penghasilan dari sana meski tak seberapa.
Di lantai paling atas mal dengan jumlah pengunjung yang cukup padat, ia malah bertemu dengan seseorang yang sama sekali tidak ingin ditemuinya. Gerak refleks membuat langkah kakinya menjauh. Tapi, orang itu justru mendekat karena ingin menginformasikan sesuatu.
“Saya harus ngapain sih, Pak, biar bisa minta waktu Bapak sebentar aja?”
Gian yang semula ingin langsung pergi tanpa menghiraukan Tori, kini berubah pikiran hanya dalam kilasan detik. Ia sempat diam beberapa saat, lalu tersenyum tipis seakan meremehkan.
“Kamu yakin mau lakukan apapun?” tanya Gian menahan tawa.
“Iya, Pak. Saya yakin.”
“Kalau gitu… sujud. Di kaki saya. Sekarang.”
Tori mengenal Gian sebagai pribadi yang kalem, bertanggung jawab, dan tak pernah memerintahkan yang aneh-aneh kepada timnya. Supervisor itu selalu paham soal batas mana yang harus dilakukan, juga yang tidak boleh dilakukan. Maka ketika mendengar permintaan Gian yang terasa tak masuk akal seakan bukan seperti diri Gian yang biasa, Tori hanya bisa mematung tanpa kata. Ini tempat umum. Sekalipun itu dilakukan, pasti akan banyak melihat mereka berdua.
“Kenapa? Takut? Ngambil uang sales puluhan juta aja bisa, kok.” Gian menyindir dengan tatapan licik layaknya tokoh antagonis. Benar-benar seperti kepribadian yang baru.
Butuh waktu kurang dari semenit hingga akhirnya Tori memberanikan diri melakukan apa yang diperintahkan Gian. Dia bersujud, persis seperti seorang pelayan yang sedang menghadap raja istana. Gian pun sempat kaget karena Tori seberani itu melakukannya di hadapan orang banyak yang kini melihat mereka berdua dengan tatapan heran. Di situ juga Gian menyadari bahwa Tori benar-benar ingin meminta waktunya.
“Saya minta maaf, Pak Gian, atas kesalahan saya yang menyeret Bapak,” kata Tori masih dalam posisi sujudnya yang dilihat banyak orang.
“Berdiri kamu.”
Tori bangkit setelah melakukan aksi sujud itu meski hanya beberapa detik, lalu keduanya bertatapan. Ia memasang wajah bersalah namun bisa dirasakan tulus, sedangkan Gian nyaris tanpa ekspresi untuk melihat keseriusan lawan bicaranya.
“Kamu tahu, saya udah berjanji sama diri sendiri untuk nggak mau lihat wajah busuk kamu di hadapan saya. Seenggaknya sampai saya benar-benar bisa memaafkan keadaan, juga bisa dapat pekerjaan baru.”
“Pak, saya itu…”
“Apa kamu paham udah menghancurkan karir seseorang? Apa kamu paham bahwa perbuatan kamu merugikan semua pihak? Dan satu lagi, apa kamu mengerti bahwa semua ini nggak bisa berubah hanya dengan permintaan maaf?” tanya Gian bertubi-tubi.