Pulang kerja hari ini Mufti tidak langsung kembali ke kosannya, melainkan menuju ke mal Cihampelas Walk untuk menemui kekasihnya. Perjalanan 20 menit menggunakan sepeda motor dari tempat kerjanya di daerah Alun-Alun Bandung itu kemudian mempertemukan dirinya dengan Filia di Broadway Street Lantai 2. Di sana Filia sedang berlatih dance bersama rekan-rekan perempuan yang lain. Sebagai penggemar K-POP, tak lengkap rasanya jika tak bergabung dengan komunitas dance cover.
Masih mengenakan kaus tanpa lengan dengan celana panjang cukup ketat, Filia memeluk Mufti begitu keduanya bertemu. Tak lupa juga kekasihnya itu memberikan sebotol minuman isotonik untuk melepas dahaga setelah mengeluarkan banyak keringat hari ini.
Setelah memastikan semua beres tanpa ada barang yang tertinggal, Filia pamit ke teman-temannya untuk menuju salah satu kafe kopi yang ada lantai bawah. Di sana ia memesan coffee latte, sedangkan Mufti lebih memilih dark chocolate dengan gula sedikit. Tak lupa juga mereka memesan satu crossiant untuk dinikmati berdua
“Gimana kerjaan? Aman?” tanya Filia sembari menyimpan ransel kecilnya di kursi samping.
Mufti duduk di hadapannya, menjawab bahwa semua aman terkendali sambil mulai menyeruput minuman yang tadi dipesan. Seperti biasa, rasa pahit coklat mendominasi lidah yang memang selalu jadi favoritnya.
Dalam belasan menit itu mereka mengobrol ringan soal kehidupan masing-masing. Mufti dengan kerjaannya, juga Filia dengan kuliahnya yang semakin membuat pusing. Mufti selalu senang mendengar cerita kekasihnya itu meskipun ia belum diberi kesempatan untuk duduk di perguruan tinggi dan memilih bekerja setelah lulus sekolah. Ia bisa terpaku menatap Filia sambil tersenyum tanpa memedulikan sekitar.
Masih asyik saling berbagi cerita, ponsel dalam ransel Filia berdering. Perempuan yang mengucir rambutnya hari itu segera mengambil ponselnya, melihat nomor yang tertera di layar, lalu memilih mengabaikan panggilan itu seakan tak boleh ada yang menganggu kebersamaannya dengan Mufti.
“Lho, kenapa nggak diangkat?” tanya kekasihnya.
“Biasa, telepon spam. Nggak usah dibahas,” jawab Filia santai sambil mengaktifkan mode pesawat pada benda elektronik yang digenggamnya. Tentu saja Mufti tak menyadari itu. “Oh iya, terus gimana kelanjutan kasusnya Pak Gian?”
“Iya, kayak yang aku bilang tadi kalau petunjuk yang kita punya masih minim. Aku masih curiga kalau Tori terlibat di hasil stock opname itu. Tapi, aku nggak punya bukti yang cukup kuat.”
“Gimana sama Pak Rei, Arin, dan Rafli?”
“Pak Rei yakin kalau ada kesalahan dari sistem yang IT buat. Kemarin banget dia udah hubungi tim pusat untuk diskusi soal ini. Nggak tahu ya hasilnya gimana. Kalau Arin, dia ngerasa ada kekeliruan dari tim waktu mereka stock opname. Ya semacam ada yang kelewat gitu, lah. Menurut aku sih, meski memang ada kesalahan dari sana, nominalnya nggak akan sebesar sekarang.
“Rafli… dia nggak tahu celah kesalahan di mana, tapi dia meyakini kalau semua terjadi bukan dari pihak eksternal kayak pencurian konsumen atau semacamnya. Apalagi dia memang sering ada di area selling, jadi bisa paham gimana kondisi toko.”
“Maksudnya nggak dari eksternal, jadi kemungkinan kesalahan dari internal, ya? Dari tim mereka sendiri.”
“Bisa jadi. Aku pun nggak bisa kasih spekulasi yang macem-macem karena sekarang udah nggak di Jatinangor lagi.”
Begitu minuman keduanya sudah hampir habis, kali ini ponsel Mufti yang berdering, menandakan ada panggilan masuk di sana. Berbeda dengan sikap Filia sebelumnya, ia mengangkat langsung telepon itu dengan memberi isyarat kepada kekasihnya.
“Ya, Pak Rei, gimana?” tanya Mufti sedikit penasaran karena jarang-jarang Asistennya itu menelepon secara pribadi, bukan lewat panggilan grup. “Iya, Pak, ini udah beres kerja. Oh, jam delapan malem ini? Boleh kok. Siap, kabarin aja kalau semuanya ready. Oke pak, sama-sama.”
Filia tak mengatakan apapun, tapi dari tatapannya ia cukup penasaran.
“Malam ini ada hal yang mau dibahas sama Pak Rei. Mungkin dia punya petunjuk baru,” kata Mufti seakan bisa membaca raut wajah Filia.
Tak lama dari sana, keduanya bergegas dari kafe yang jadi tempat ngobrol selama setengah jam lebih. Mufti akan mengantar Filia pulang ke daerah Dipatiukur, kemudian baru bisa kembali ke kosannya yang tak jauh dari tempat kerja.
Seperti biasa, Filia melingkarkan lengannya pada tubuh Mufti saat keduanya di atas motor. Bahkan tak jarang juga ia menyandarkan kepala di punggung kekasihnya sambil menikmati suasana malam Kota Bandung yang dingin. Hal ini terus berulang selama enam bulan sejak resminya hubungan mereka.