“Mas udah bilang untuk tetap lanjutin kuliah kamu!”
Nada Rei meninggi ketika bicara dengan seseorang lewat ponsel. Pembahasan itu lagi-lagi terulang sejak sebulan lalu kalau adik laki-lakinya ingin berhenti kuliah. Katanya kuliah terlalu capek dengan tugas menumpuk. Belum lagi setiap minggunya wajib ikut himpunan untuk menambah pengalaman berorganisasi yang katanya akan membantu ketika mencari kerja nanti.
Semula hal itu hanya menjadi keluh kesah adiknya sebagai mahasiswa baru, tapi semakin ke sini malah menjadi sesuatu yang serius. Adiknya ingin langsung kerja saja tanpa perlu belajar lagi seperti apa yang Rei lakukan sejak lulus sekolah. Dia menganggap bahwa kehidupan pekerjaan semudah itu untuk mendapat uang. Padahal kenyataannya jauh lebih rumit.
“Ran baru masuk SMA tahun ini, Mas. Tiga tahun lagi lulus, sementara aku belum tentu udah lulus kuliah. Terus siapa yang mau bantu biaya dia ke Perguruan Tinggi? Apa iya kita harus selalu mengandalkan Mas di sana?”
“Ren, itu biar Mas yang pikirin. Usaha Ibu Bapak di sana juga masih berjalan, toh? Rezeki itu nggak kemana. Udah, kamu fokus belajar aja di Malang sana. Jangan lupa bawa oleh-oleh kalau pulang.”
“Mas, ayolah. Izinin aku buat kerja. Aku yakin bisa ngejar karir kayak Mas Rei sekarang.”
Mengejar karir, katanya. Perjuangan Rei di perusahaan ini tak semudah apa yang dipikirkan adiknya. Diterima kerja, lalu dapat promosi jika sudah lama mengabdi bertahun-tahun. Tidak begitu.
Tentu Rei menceritakan kembali kepada Ren bahwa untuk sampai di posisi Asisten Supervisor di usianya yang baru menginjak 24 tahun membutuhkan perjalanan panjang. Awalnya ia menjadi Promotor seperti posisi Rafli saat ini, namun di cabang Cirebon dekat dengan rumahnya. Rei harus memberikan performa yang terbaik karena proses mutasi sering terjadi bagi seseorang yang punya kemampuan di bawah rata-rata. Ia melihat langsung atas seleksi alam di mana karyawan toko justru banyak yang mengundurkan diri karena tak bisa mengikuti alur yang diinginkan pusat.
Dua tahun setelah bekerja ia dipromosikan menjadi Penanggung Jawab Reseller seperti posisi Mufti. Reseller punya peran penting karena meningkatkan omzet toko dengan transaksi yang besar, sehingga harus dijaga loyalitasnya agar tetap belanja di toko kita, bukan ke toko orang lain. Rei menjalankan tugasnya dengan baik selama beberapa tahun selanjutnya yang pada akhirnya dipromosikan lagi ke Asisten Supervisor, tapi untuk pembukaan cabang baru di Jatinangor.
“Paham, ya? Nggak ada lagi obrolan berhenti kuliah gini. Kerja itu jauh lebih capek, Ren. Mas mau kamu jadi sarjana pertama di keluarga kita.”
“Iya deh, Mas. Maaf ya aku banyak repotin Mas di sana.”
“Nggak apa-apa. Kamu itu kan adik Mas, jadi ya tanggung jawab Mas juga. Bukan orang lain.”
“Kalau gitu aku tutup, ya.”
Sambungan telepon ditutup yang diakhiri dengan napas Panjang Rei di ruang brankas. Banyak sekali yang harus dipikirkannya saat ini. Mulai dari petunjuk selisih stock opname yang mengambang, adiknya yang nyaris ingin berhenti kuliah, juga soal spekulasi gila yang dikatakan Rafli kalau Gian sebenarnya bisa saja menjadi tersangka utama. Jelas saja malam kemarin ia menepis keras dugaan Rafli.
“Pak Rei,” kata seseorang mengetuk pintu, memanggil namanya. “Kita udah siap buat briefing.”
“Oh iya, tunggu sebentar, ya.”
Setelah merapikan kemeja pendek berawarna navy dengan border putih yang jadi official seragam toko hari Kamis, ia keluar ruangan brankas untuk memimpin briefing di pagi hari ini. Ada empat orang lagi yang satu shift dengannya, di mana salah satunya adalah Arin. Perempuan itu justru masih asyik bermain ponsel sambil senyum-senyum sendiri.
“Kalau perlu, langsung video call aja Rin ke pacarmu. Biar dia lihat sebentar lagi kita mau briefing,” kata Rei dengan nada tegas sebagai sindirian kepada Kasir itu.
“Maaf, Pak. Arin nggak akan ulangi lagi.”
“Sini hape kamu.”
Rei mendekat, merampas ponsel Arin yang belum sempat dimasukkan kembali ke saku.