Sejak pertemuan online beberapa hari lalu, Rei tidak pernah lagi mengumpulkan timnya untuk memberi update soal penyelidikan rahasia ini. Secara tak langsung ia memang tidak ingin mereka terlibat lebih jauh untuk meminimalisir risiko. Jika pun mereka bergerak sendiri tanpa komando dan izin, itu tidak akan lagi jadi tanggung jawabnya.
Rafli membuat teori gila bahwa semua penyelidikan ini selalu berjalan di tempat karena apa yang mereka cari sudah tak ada lagi di toko. Semua telah pergi dibawa Gian yang punya potensi besar menjadi dalang semua teka-teki ini. Mereka terlalu berpikir jauh ke luar batas tanpa menyadari kemungkinan terdekat lahir dari orang yang paling dipercaya.
Ia tidak menyimpan dendam, sungguh. Ini hanya spekulasi paling masuk akal bahwa mereka tak perlu naif menganggap orang baik akan selamanya baik. Bisa saja itu hanya topeng yang sengaja digunakan untuk mengelabui sekitar.
“Gue lebih percaya kalau Tori pelakunya. Kita aja yang belum punya cukup bukti,” kata Mufti malam itu dalam pertemuan virtual.
“Nggak, Mu. Dia terlalu cerdik untuk ngelakuin ini,” jawab Arin. “Ini kejahatan yang memang disengaja untuk memfitnah Pak Gian.”
“Bukan fitnah, sih, Rin,” Rafli memotong cepat. “Pak Gian itu jadi satu-satunya orang yang punya potensi. Dia punya akses dan kendali yang bahkan nggak dimiliki sama Asisten Supervisor. Aku nggak langsung menuduh kok, beneran. Aku hanya bilang soal kemungkinan.”
“Justru kalau menurut saya ini bukan soal siapa, tapi soal apa.” Rei masuk kembali dalam obrolan. “Sistem kita yang lagi nggak beres. Makanya saya lagi coba hubungi IT pusat untuk ngecek semua barangkali ada kesalahan di sana.”
Pertemuan virtual ditutup alot malam itu yang justru hanya menyisakan pendapat berbeda dari semuanya. Jika begini maka penyelidikan sulit untuk dilakukan bersama lagi karena mereka punya kecurigannya masing-masing.
Sementara itu Rafli tetap berpegang teguh pada teori awalnya, ditambah lagi pagi ini sebelum bekerja ia mendapat telepon dari Gian yang membahas sesuatu soal Tori. Laki-laki berkacamata ini mencoba terdengar bersemangat. Bukan karena ia peduli, tapi untuk melihat sejauh apa keterkaitan Gian dan Tori saat ini. Bisa saja kan ternyata selama ini malah mereka yang bekerja sama.
“Jadi Pak Gian ketemu Pak Tori? Terus apa aja yang dibahas?”
“Dia bilang nggak terlibat dalam kasus stock opname ini, Raf. Malah dia curiganya ada kejahatan terselubung yang dilakukan sama tim toko,” jawab Gian di seberang telepon.
“Terus Bapak langsung percaya sama dia? Maksud aku, come on, dia itu jelas-jelas udah melakukan kejahatan di sini. Harusnya Pak Gian nggak gampang terpengaruh sama omongannya.”
“Itu dia, Raf, makanya saya mau kamu untuk lihat apa ada yang mencurigakan di sana. Kalau bisa, jangan lakukan penyelidikan bareng-bareng. Cukup kamu aja.”
Rafli hanya diam.
“Saya bilang ini karena kamu adalah orang yang paling saya percaya. Jadi pesan saya adalah… trust no one, but yourself.”
“Oke, Pak. Rafli paham.”
Telepon terputus. Perkataan terakhir soal jangan percaya siapapun kecuali diri sendiri membuatnya berpikir bahwa mencurigai Gian berarti bukan sesuatu yang salah. Cukup dirinya sendiri sekarang mengumpulkan bukti. Bukan untuk menyeret Gian menjadi terdakwa, tapi untuk membuktikan apakah dugaannya benar atau salah.
***
Hari ini Rei mendapat kabar dari tim IT pusat yang kebetulan temannya sendiri saat penempatan di Cirebon beberapa tahun lalu. Setelah beberapa hari ke belakang ia meminta bantuan, terjawab bahwa dalam sudut pandang sistem komputer tidak ditemukan adanya kejanggalan. Rancangan sistem yang dibuat dan dijalankan pada perusahaan sudah dibuat sebaik mungkin. Bahkan jika pun memang ada kesalahan, tentunya tim IT akan langsung menghubungi outlet yang bersangkutan.