Fraud, Unleash The Truth

Gilang Riyadi
Chapter #12

Kilas Balik Masa Lalu

Jatinangor tidak pernah sepi. Meski hanya sebatas kecamatan kecil di perbatasan Sumedang - Bandung Timur, nyatanya lokasi ini menjadi salah satu pusat pendidikan karena terdapat banyak kampus besar di dalamnya. Mulai dari ITB, Unpad, Ikopin, hingga IPDN. Maka tak heran juga jika kebanyakan yang tinggal di sini adalah mahasiswa.

Mencari kuliner pun menjadi perkara mudah. Mulai dari makanan pinggir jalan, kafe kekinian, hingga makanan khas luar Indonesia pun sangat mudah ditemukan. Tinggal hitung saja budget yang dimiliki, lalu pilih sesuai selera masing-masing.

Rei, Rafli, dan tiga orang lainnya yang tergabung dalam shift 1 kompak memesan salah satu makanan Jepang yang dibeli lewat ojek online untuk menghemat waktu dan menggunakan promo. Seperti biasa, di waktu istirahat jam satu siang itu kelimanya berkumpul di halaman belakang toko mengenakan pakaian dengan model sama, yaitu kemeja flannel kotak-kotak.

“Nanti pas kita masuk, Rafli live shopping di lantai dua ya,” kata Rei sambil menikmati menu bentonya menggunakan sumpit. “Kalau memungkinkan, Erla ikut bantu juga. Tapi, lihat kondisi. Jangan sampai konsumen toko malah nggak dilayani.”

“Oke, Pak,” jawab keduanya kompak.

Hari Sabtu ini kondisi memang lebih padat dibanding dua minggu ke belakang. Mungkin selain baru memasuki tanggal muda, promo yang diberikan kantor pusat untuk memberi potongan sampai dengan 30% ini ternyata mulai memberikan efek yang semakin baik dalam perkembangan omzet. Sebagai salah satu pemimpin, Rei begitu percaya diri bahwa tim tokonya bisa tembus target dan mendapat insentif di bulan ini.

“Ziwan, masalah stok aman, kan? Daily check kita udah berapa persen?” tanya Rei melanjutkan pembahasan pekerjaan.

So far udah 70%, Pak. Aku rasa besok udah bisa clear semuanya,” jawab laki-laki berambut cepak itu.

“Kalau masih ada yang kurang paham soal data, jangan sungkan untuk hubungi Novan.”

“Iya, Pak. Novan juga masih suka bantu aku, kok.”

“May, kalau kasir nggak ada kendala kan sejauh ini?” Kali ini Rei bertanya pada Kasir yang jadi partner Arin di toko.

“Aman, Pak,” jawab perempuan berbehel itu yang masih belum selesai menikmati hidangannya.

Urusan toko yang ternyata masih dibawa bahkan sampai ke waktu istirahat membuat empat orang lainnya jadi mempertanyakan posisi Rei. Ia sudah melebihi job desk seorang ASPV, tapi posisinya masih berada di titik yang sama hingga hari ini.

Rafli pun tahu betul bahwa sejak Tori dan Gian resmi mengundurkan diri dari perusahaan, Rei begitu sibuk mengurus semuanya sendirian. Segala tugas dan tanggung jawab tiga orang harus dipikul seorang diri, bahkan sampai di lima hari pertama ketika posisi SPV dan asistennya itu kosong. Barulah kemudian Novan mendapat promosi, yang disusul oleh perbantuan dari Bandung untuk posisi Supervisor.

“Pak Rei kenapa nggak ngajuin aja buat jadi SPV? Daripada repot cari ke sana-sini, ya mending ambil dari internal aja,” kata Erla yang baru saja menghabiskan makanannya.

“Bener, Pak. Perbantuan Supervisor pun kan tinggal beberapa hari lagi,” lanjut Ziwan, Promotor yang baru dipromosikan jadi Kepala Gudang.

“Jadi Supervisor tuh berat, gengs,” jawab Rei santai.

“Pak Rei itu udah senior, lho. Bukan kayak kita yang baru join pas toko buka.” Rafli menambahkan.

“Saya sih nggak nolak kalau dapat tawaran promosi. Tapi, semua keputusan kan ada di tangan Pak Gustav.”

“Pokoknya kita harus dukung Pak Rei jadi Supervisor di sini. Hidup Pak Rei!” Rafli mengepalkan tangannya seperti sedang berorasi, disusul oleh senyum Rei menahan tawa.

Lihat selengkapnya