Ternyata sudah lama juga Arin tidak berkunjung ke Bandung. Terakhir sepertinya setengah setahun lalu ketika ia jalan-jalan bersama Brata, kekasihnya. Waktu itu Brata masih kerja di kota ini, sehingga pertemuan mereka pun cukup intens dilakukan. Tapi, sejak satu tahun ke belakang ini Brata dimutasi ke Semarang, membuat keduanya terpaksa menjalani hubungan jarak jauh.
Sejujurnya Arin tidak menyangka bahwa hubungan jarak jauhnya tetap bisa bertahan sampai titik ini. Berkali-kali ia ingin menyerah, tapi kekasihnya selalu punya alasan kuat untuk membuatnya tetap bertahan. Keduanya baikan, menjalani kehidupan asmaranya seperti biasa, lalu konflik ringan itu kembali muncul seperti jadi makanan rutin yang pasti terulang.
Aku butuh waktu sendiri dulu
Itulah pesan terakhir Arin yang dikirim pada Brata seminggu lalu. Hanya dibaca tanpa respons apapun, baik lewat pesan kembali ataupun sebuah panggilan yang biasanya mengisi hari-hari mereka. Sejak itupun nyaris tak ada komunikasi dari dua orang itu, membuat Arin perlahan mulai merindukan kehadiran kekasihnya.
Hari ini ketika ia menginjakkan kaki di Bandung karena ajakan Erla, membuat lembar kenangan itu muncul dalam permukaan pikiran. Momen yang seharusnya dinikmati karena bisa lepas sejenak dari rutinitas kerjaan malah berbalik membuatnya dilanda kegundahan.
“Rin, kok diem aja sih dari tadi?” tanya Mufti melihat lamunan perempuan yang rambutnya dikucir seperti ekor kuda itu. “Jauh-jauh dari Jatinangor malah ngegalau.”
Karena sekalian di Bandung, tentu tak lengkap rasanya jika Arin tak bertemu Mufti. Ketiganya kemudian bertemu di salah satu kafe kopi Jalan Braga Bandung di siang yang cukup Terik ini. Jadwal mereka yang kebetulan sama-sama sedang libur pun dimanfaatkan sebaik mungkin agar bisa menghabiskan waktu seharian di sini.
“Filia ke mana, deh? Kenapa nggak diajak sekalian?” Arin bertanya balik membelokkan topik.
“Dia ada jadwal ngampus tambahan, katanya. Padahal pengen banget ketemu lo di sini,” jawab Mufti sembari menyeruput minuman coklat pahitnya.
Pembicaraan mereka bertiga berlanjut membahas masalah pekerjaan masing-masing, hingga kenangan ketika Mufti masih berada di Jatinangor. Momen ketika jari laki-laki itu pernah terjepit rolling door toko dan dilarikan ke puskesmas terdekat menjadi hal yang tak boleh dilewatkan. Erla dan Arin tertawa puas mengingatnya, mengundang reaksi malu Mufti yang menundukkan kepala.
Setelah puas menikmati kopi di kafe itu, ketiganya kompak meninggalkan lokasi dan memilih untuk berfoto di Jalan Braga yang memang menjadi salah satu ikon Kota Bandung. Mufti yang cukup mahir dalam mengambil sudut foto seakan jadi fotografer dadakan yang diandalkan Arin dan Erla. Pose demi pose dilakukan dua perempuan itu, menjadikan mereka seperti model yang sedang melakukan pemotretan.
“Mu, sekali lagi fotoin di sana, ya,” kata Erla melihat hasil fotonya cukup bagus meski hanya menggunakan ponsel.
Tak sekadar berfoto a la model di tengah keramaian Jalan Braga menjelang sore itu, ketiganya pun mengambil beberapa potret selfie yang diambil dari ponsel IPhone Arin. Hasilnya bagus, yang langsung dikirim oleh Arin lewat WhatsApp dengan resolusi yang tinggi.
“By the way guys, aku harus ke Jalan Lengkong dulu sebentar ketemu sama sepupu. Kayaknya sejam atau dua jam baru bisa balik lagi,” kata Erla sambil melihat ponselnya.
“Dadakan banget, Er.”
“Iya, Rin, maaf. Kamu nggak apa-apa kan di sini dulu bareng Mufti?”
“Santai, biar Arin sama gue aja dulu,” jawab Mufti padahal Arin belum berkata apa-apa.
Erla pergi dengan sepeda motornya, meninggalkan Mufti dan Arin yang kini berdua duduk di pinggir jalan. Sesekali ada pengamen hingga penjual bunga menghampiri, tapi sama sekali tak diharukan oleh keduanya.
“Mu…”