Nala dan Bhakti datang langsung dari Jakarta sejak seminggu lalu untuk menyelidiki kasus penggelapan uang yang dilakukan Tori. Sebagai tim audit yang memang biasa melakukan kunjungan ke banyak cabang outlet perusahaan, keduanya curiga masih ada kasus fraud terjadi di Jatinangor. Maka agenda melakukan stock opname atas keselurahan stok toko dilakukan meski bukan menjadi jadwal rutin nasional yang biasa dilakukan setahun dua kali.
Mereka menyaksikan langsung proses pengecekan stok itu dengan hasil yang ternyata lebih jauh dari dugaan mereka. Lebih dari 900 barang yang ada di sistem ternyata tidak ada fisiknya alias hilang tanpa jejak. Jika dikonversikan ke rupiah pun, hasilnya di atas 200 juta. Angka yang tidak main-main dan tak bisa dibiarkan lebih lama.
Bhakti kemudian membuat jadwal satu hari khusus untuk menginterogasi seluruh karyawan tanpa terkecuali, termasuk Supervisor, Asisten Supervisor, hingga Branch Manager. Semua dilakukan di ruang brankas yang kedap suara dengan memanggil satu persatu secara acak.
“Menurut kamu, kenapa Tori bisa melakukan penggelapan uang itu?” tanya Nala pada salah satu karyawan sambil mempersiapkan catatannya.
“Karena dia punya kesempatan, Bu.”
“Kesempatan?”
“Iya, kesempatan. Maksud saya, atasan kami terlalu santai untuk menjalankan kegiatan operasional toko. Dia lengah yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh Pak Tori.”
“Yang kamu maksud tadi Supervisor?” tanya Bhakti memotong.
“Ya, Pak Gian. Dia itu kayak nggak tegas memimpin di sini dan menganggap timnya adalah teman, bukan bawahan.”
“Bukannya Itu berarti dia bisa membaur langsung dengan kalian, kan?”
“Bu Nala, itu memang bagus kalau soal komunikasi. Tapi begitu masuk ranah pekerjaan, ya harus ada batasan juga, dong. Pak Gian juga terlalu gampang percaya sama orang, pantes aja bisa ditipu asistennya sendiri.”
Nala dan Bhakti menulis sesuatu di catatannya masing-masing, lalu mengajukan beberapa pertanyaan selanjutnya.
“Menurut kamu, selisih stok toko Jatinangor ini disebabkan karena apa?” tanya Nala.