Rei menatap kalender gantung yang ada di rumahnya. Ini hari Sabtu, di mana tiga minggu lalu ia dan tim kehilangan sosok Gian sebagai Supervisor. Ia telah berjanji pada rekannya itu untuk membantu penyelidikan agar nama Gian bersih, juga untuk membuat antisipasi ke depan dalam mengamankan stok toko Jatinangor. Tapi meski telah sedikit mendapat petunjuk, ia belum bisa secara pasti mengungkap siapa dalang di balik ini semua.
Jika bukan karena sistem, sudah pasti karena seseorang. Maka kecurigaan terhadap dua orang timnya menjadi fokus utama Rei kali ini untuk membuktikannya. Mufti dan Rafli, merekalah yang akhir-akhir ini jadi bahan pemikirannya ketika sedang bekerja. Awalnya ia merasa tak mungkin karena telah mengenal baik dua orang itu. Tapi, ketidakmungkinan adalah sesuatu yang justru paling memungkinkan dalam sebuah penyelidikan.
Asisten Supervisor ini jadi lebih sering menghabiskan waktu di ruang brankas yang sebelumnya telah mencetak data penjualan di kertas HVS ukuran A4. Segmen retail dan reseller itu dipisahkan menjadi kertas berbeda. Ia memperhatikan setiap tanggal di mana keduanya melakukan kunjungan ke luar toko, termasuk detail barang yang dibawa dan berapa jumlahnya.
Barang keluar, barang terjual, dan barang yang kembali itu masih tetap pada alur yang seharusnya. Jumlah semuanya sesuai tanpa ada kejanggalan. Lagi-lagi ia melewatkan sesuatu yang sampai saat ini pun tak ditemukannya. Jika begini terus menerus, Rei tak bisa menepati janjinya pada Gian. Ia akan gagal. Ia benar-benar gagal.
Untuk sedikit menenangkan pikiran kacaunya, Rei pulang ke Cirebon di hari liburnya untuk bisa berkumpul bersama keluarga dengan membutuhkan waktu selama kurang lebih 3 jam di perjalanan. Kebetulan juga adiknya, Ren, saat ini sedang pulang dari aktivitas kuliahnya di Kota Malang. Maka lengkap sudah keluarganya berkumpul. Bapak, Ibu, Rei, Ren, dan adik bungsunya, Ran.
Di siang yang terik dan membakar kulit itu, Rei duduk bersama Ren di teras depan. Ibunya sempat membuatkan pisang goreng dan masing-masing secangkir es teh manis sebagai camilan. Dua laki-laki muda itu menikmati waktu libur mereka dengan tenang di tengah panasnya Kota Cirebon.
“Jadi dewasa itu berat ya, Mas?” tanya Ren seperti penasaran.
“Ya namanya juga hidup, Ren. Makin tua, ya makin berat juga ujiannya,” jawab Rei santai mengunyah pisang goreng yang masih panas.
“Salut lho aku sama Mas Rei yang bisa jadi tulang punggung buat kita semua.”
“Apaan, sih? Kamu kayak baru kenal Mas aja.”
Keduanya tertawa sambil membahas kehidupan masing-masing. Rei soal pekerjaannya, Ren juga tentang perkuliahannya di Malang. Mendengar Ren yang semangat menceritakan kegiatan dan teman-teman kampusnya di sana, membuat senyum Rei perlahan melengkung. Ia bangga bisa melihat perkembangan adiknya yang tetap memutuskan melanjutkan pendidikan tanpa perlu berhenti bahkan harus ikut bekerja seperti yang dilakukannya saat ini.
“Oh ya, Mas, maaf kalau aku lancang. Tapi, tadi pagi aku denger obrolan Ibu sama Mas.”
Wajah Rei yang semula santai dan penuh senyum itu perlahan berubah jadi tanpa ekspresi. Obrolan tadi pagi yang seharusnya hanya diketahui oleh dirinya sendiri ternyata malah didengar juga oleh adiknya.
Ini soal Ibunya yang kekurangan modal untuk membeli kebutuhan warung yang jadi satu-satunya usaha keluarga mereka. Rei dimintai uang sebesar 2 juta yang nantinya akan diganti jika sudah balik modal. Tentu sebagai anak ia tak keberatan. Hanya saja ia perlu memikirkan matang apakah bisa memberi langsung atau tidak, mengingat ia juga punya keperluan pribadi di tempat rantaunya.
“Itu biar jadi urusan Mas aja, Ren. Tugas kamu cukup belajar yang bener di sana.”
“Nggak gitu, Mas. Mas udah terlalu jauh berkorban buat keluarga kita. Kalau mas mau nolak, langsung bilang aja ke Ibu. Aku bisa coba cari kerja part time nanti di sana buat ikut bantu.”
“Ren, apa yang selalu Mas bilang? Urusan rumah tangga ini bukan tanggung jawab kamu,” jawab Rei dengan nada yang mulai meninggi. “Kamu belajar giat, lulus tepat waktu, bahkan bisa sampai cumlaude pun itu udah sangat cukup.”
“Ren itu cuma nggak mau Mas menanggung ini sendirian. Mas pasti capek, kan?”
“Kalau Mas capek terus harus gimana? Berhenti kerja? Istirahat dan rebahan santai di sini, terus nggak dapat penghasilan? Kan nggak gitu.”
Di tengah percakapan kakak adik yang mulai serius itu, Ibunya datang membawa selembar kertas dengan wajah panik. Rei meraih kertas itu yang isinya ternyata sebuah surat peringatan dan panggilan orang tua dari sekolah karena adik bungsunya sudah hampir seminggu tidak hadir tanpa keterangan.
“Mana Ran?” tanya Rei pelan tanpa ekspresi.
“Kalau nggak salah hari ini dia main sama temen-temennya,” jawab ibunya mencoba mengingat.
“Ren, hubungi adik kamu itu sekarang. Bilang ini penting. Kalau nggak mau, biar Mas yang susul ke tempatnya langsung.