Fraud, Unleash The Truth

Gilang Riyadi
Chapter #17

Ruang Temu

Sudah lama juga rasanya Rei tidak berkumpul dengan Arin, Rafli, dan Mufti sebagai tim penyelidikannya. Selain karena waktu mereka yang tak selalu ada di shift yang sama, terutama Mufti yang jelas jaraknya jauh, Gustav pernah memberinya sedikit ancaman bahwa karirnya bisa berakhir seperti Tori dan Gian jika hasil analisisnya salah. Ia tak bisa membayangkan kalau harus berhenti kerja tiba-tiba dengan kondisi keluarga yang sangat bergantung pada dirinya.

Maka malam ini ia mengadakan pertemuan khusus bersama tiga rekannya itu. Rafli memang kebetulan ada di shift 2, sedangkan Arin yang tadi masuk shift 1 mau tak mau datang kembali ke toko. Untung saja jarak rumahnya dekat, sehingga itu tidak jadi masalah besar untuk kembali ke sini. Sementara itu Mufti sedang libur dan kebetulan pulang ke Jatinangor. Karena tak ada agenda lain, ia menyetujui ajakan Rei untuk kumpul di outlet Jatinangor setelah tutup toko.

Di jam sepuluh malam setelah seluruh kegiatan operasional toko selesai dan karyawan lain di shift 2 telah pulang, keempat orang itu berkumpul di ruang operasional. Di sinilah tempat karyawan menyimpan barang, beristirahat, atau ingin mengerjakan sesuatu lewat komputer.

“Hai, Mu! Apa kabar?” sapa Rafli masih mengenakan kaus polo hitam sebagai seragam hari Rabu.

“Baik, dong. Gimana, udah move on?” Mufti bertanya balik sambil menjabat tangan laki-laki berkacamata itu.

“Tiap hari juga move on kali hahahaha.”

Setelah semua orang dipastikan sudah datang, mereka duduk melingkar dengan beralaskan lantai yang dingin. Hanya ada berempat karena Rei menginginkan pertemuan ini tidak diketahui tim lainnya.

“Mulai minggu depan saya akan jadi Supervisor di sini,” kata Rei membuka obrolan yang mendapat sambutan meriah dari tiga rekannya, terutama Rafli.

Tapi, ekspresi Supervisor itu tidak bisa dibohongi. Ada sedikit kegelisahan yang jelas terlukis di sana.

“Semua baik-baik aja kan, Pak?” tanya Arin yang menyadari kejanggalan itu.

“Saya jadi Supervisor dengan syarat menghentikan segala penyelidikan yang berkaitan dengan hasil selisih stock opname.”

Rei menceritakan kembali obrolannya bersama Gustav di telepon dua hari lalu bahwa ada satu jaminan jika dirinya memang ingin dipromosikan menjadi Supervisor. Jika ketahuan bahwa ia dan tim lain masih menyelidiki kasus stok itu, maka jabatan Supervisor yang akan didapat Rei terancam hilang meski sudah ada dalam genggaman.

“Kita serahkan semua sama pusat sekarang. Dan sebagai pemimpin di sini, saya mau semuanya berhenti untuk mencari bukti yang berkaitan sama hasil stock opname. Udah saatnya kita moving on dan bekerja seolah nggak terjadi apa-apa kemarin.”

Tentu saja kabar ini jadi sesuatu yang mengejutkan bagi mereka. Mana mungkin apa yang telah dimulai malah tidak diselesaikan. Ini tidak adil, terutama soal Gian yang saat ini statusnya masih dianggap penjahat oleh perusahaan.

“Nggak bisa gini, Pak.” Mufti bangkit, menatap Rei yang juga ikut berdiri dari duduknya. “Pak Rei jangan terlena sama jabatan sampai akhirnya ngorbanin penyelidikan ini.”

“Saya bersikap realistis, Mu. Penyelidikan kita kemarin-kemarin pun nggak dapat petunjuk penting karena masing-masing pasti sibuk sama kerjaan. Jadi, untuk apa kita buang waktu lebih lama?”

Arin dan Rafli ikut bangkit, membuat empat orang di sana sama-sama berdiri membahas ini.

“Ya udah sekarang gini aja,” kata Arin. “Kalau Pak Rei mau berhenti, ya silakan. Kita berdiri masing-masing aja kalau masih mau cari bukti lain soal hasil stock opname.”

“Nggak bisa gitu, Rin. Sekalipun saya nggak ikut tapi kalian masih bergerak, ke depannya sama aja mempertaruhkan jabatan saya sebagai kepala toko.”

“Nah kan, memang sejak awal Pak Rei keenakan pas tahu mau dipromosiin jadi SPV. Sekarang gue paham kenapa dari dulu Pak Gian lebih deket sama Tori, ya itu karena Pak Rei egois mementingkan diri sendiri.”

Lihat selengkapnya