Rei menerima panggilan dari adik laki-lakinya tepat ketika ia sampai di halaman kosan. Sambil duduk di sepeda motornya malam itu setelah menyelesaikan kerjaannya di shift pertama, ia menghabiskan waktu selama beberapa menit ke depan mendengarkan cerita Ren. Kali ini bukan soal perkuliahan yang berhubungan dengan keuangan, melainkan tentang cerita pribadi karena adiknya itu sedang kasmaran dengan seseorang.
Sebagai kakak tentunya Rei mendengarkan cerita manis Ren yang mengingatkannya pada fase itu beberapa tahun ke belakang. Seperti memendam perasaan, senyum-senyum sendiri ketika berada di samping orang yang disukai, hingga perasaan tak menentu jika melihat ada orang lain yang ternyata sedang dekat dengan orang yang kita suka.
“Lanjut gas aja, lah. Dia juga belum punya pacar, toh? Yang jelas jangan sampai lupa sama tugasmu untuk belajar. Nggak cinta-cintaan mulu,” kata Rei memberi respons sembari melangkah ke lantai dua menuju kamarnya.
“Aku tuh takut aja bikin dia risih, Mas.”
“Ya kalau kamu nggak coba gimana bisa tahu.”
Begitu sampai di lantai dua, Rei merasa ada sesuatu janggal dari kamarnya yang ada di ujung itu. Pintunya sedikit terbuka padahal ia sangat ingat selalu menguncinya kemanapun ia pergi. Rei mencoba tetap tenang dengan melangkah pelan untuk tak menimbulkan suara.
“Ren, nanti Mas telepon lagi, ya. Ada urusan dulu bentar.”
Telepon ditutup yang membuat Ren sedikit heran karena ia belum menyelesaikan ceritanya. Sementara itu di sana Rei mencoba membuka pintu dengan sangat pelan. Kamarnya gelap, tapi lapotopnya menyala dengan cahaya yang kontras. Ia kaget, masih membeku melihat apa yang terjadi di sana. Bukan soal laptop, tapi karena ada orang lain duduk di sana seperti sedang mencari sesuatu di laptopnya.
Orang itu cukup tinggi dengan badap tegap, mengenakan hodie yang tudungnya menutupi bagian kepala. Itu rampok, pasti rampok.
Karena panik dan tak sempat membuat keputusan, kehadiran Rei langsung disadari orang itu. Keduanya saling tatap dalam beberapa detik. Rei tak bisa melihat secara jelas wajah penjahat ini, apalagi ada masker yang menutupi wajah orang itu.
“Si-siapa kamu?”
Pertanyaan bodoh yang dikeluarkan dari mulut Rei membuat dirinya terperangkap kerena penjahat itu justru menarik ia ke dalam kamar. Pintu dikunci kemudian yang membuat Rei terjebak di sana tanpa bisa melawan. Ia sadar diri sejak awal tidak akan menang melawan. Bahkan jika memaksakan diri pun salah-salah dia yang akan terluka.
Benar saja, orang itu mengeluarkan sebuah pisau lipat dari sakunya dan mengarahkanya ke Rei yang tersudut di tembok. Dia menempelkan ujung pisau itu ke pipi Rei, lalu menggoreskannya hingga meninggalkan luka yang mengalirkan darah.
“Jangan teriak atau lapor siapa-siapa kalau mau nyawa kamu selamat,” kata orang itu dengan suara beratnya.