Tiga hari pertama sejak perdebatan di ruang operasional itu membuat hubungan Rei, Arin, dan Rafli sedikit renggang. Mereka jadi jarang sekali bicara kecuali benar-benar dibutuhkan untuk membahas soal pekerjaan, seperti perhitungan uang di kasir atau soal penataan display pada area penjualan. Bahkan ketika berada di shift yang sama seperti hari Minggu ini, ketiganya tetap memilih bungkam meskipun sedang beristirahat di tempat yang sama bersama dua rekannya yang lain.
“Er, temenin ke minimarket depan, yuk. Biasa, beli kopi,” kata Ziwan ke Erla.
“Gas, lah. Aku juga sekalian mau beli camilan. Ada yang mau nitip, nggak?”
Pertanyaan Erla hanya menggantung di udara yang hanya dijawab dengan isyarat tidak dari Rei, Arin, dan Rafli. Maka Ziwan dan Erla pergi meninggalkan tiga rekan lainnya yang berada dalam situasi serba canggung. Rei sempat mencoba melirik ke Arin dan Rafli yang sama-sama sibuk memainkan ponsel. Ia ragu apakah bisa memulai kembali komunikasi yang baik seperti sebelum perdebatan hebat itu terjadi.
“Ra-Rafli ngaku salah, Pak. Waktu itu kebawa emosi.”
Meski suaranya nyaris tak terdengar, apa yang dikatakan Rafli barusan direspons oleh Rei dan Arin yang sama-sama menatap dirinya. Ketiganya kemudian melihat satu sama lain dan mulai melengkungkan senyum. Sepertinya masing-masing dari mereka punya isi pemikiran yang tak jauh beda untuk kembali menata hubungan ini, namun terikat ragu karena takut membuatnya jadi semakin berantakan.
“Saya juga salah karena nggak bisa ngontrol tim saya sendiri, malah bikin tambah kacau.”
“Aku minta maaf juga, Pak, karena nuduh Pak Rei macem-macem tanpa bukti.” Arin melanjutkan dengan perasaan bersalah.
“Ya udah, kita kan sama-sama salah, berarti harus saling memaafkan juga,” kata Rei yang kembali ke setelan awal sebagai orang yang kalem. “Tapi sebagai, ehem, calon SPV di sini, saya punya otoritas untuk tetap menghentikan segala sesuatu yang berhubungan sama kasus fraud itu. Saya tetap mau semua kerja sebagaimana mestinya tanpa harus memikirkan hal lain yang justru bisa menghambat kinerja masing-masing. Paham, ya?”
“Paham, Pak,” jawab Rafli yakin karena ia sudah terlalu muak untuk hal-hal yang tidak pasti.
“Arin?” tanya Rei memastikan saat melihat Arin yang terlihat masih ragu.
“Arin… ikut gimana baiknya aja.”
Rei tersenyum tulus. Ia paham bahwa Arin sebenarnya masih ingin ikut berjuang. Tapi, di sisi lain pun ada hal yang tak kalah penting untuk dipertahankan. Soal keluarganya, terutama dua adiknya yang masih membutuhkan sosok seorang kakak untuk jadi tulang punggung. Rei tidak bisa mengambil risiko lebih jauh kehilangan pekerjaan dan mengorbankan pendidikan Ren dan Ran untuk sesuatu yang belum terlihat kepastiannya.
“Ya gini lah kalau jadi sandwich gen. Banyak tanggungan yang harus dipikir. Saya harus bisa buat prioritas hidup.” Rei melanjutkan ceritanya. “Saya nggak bilang bahwa kasus fraud ini nggak penting, tapi ranah saya memang bukan di sini. Biar tim audit aja nanti yang menyelidiki lebih lanjut.”
“Iya. Arin paham, kok. Maaf sebelumnya aku nggak tahu soal cerita Pak Rei dan adik-adiknya.”
“Nggak apa-apa, Rin. Saya juga memang jarang cerita.”
Di detik itulah hubungan mereka perlahan kembali seperti semula. Bisa membahas pekerjaan, cerita diri masing-masing, atau saling berbagi kelakar seru tentang kejadian di toko yang mengundang tawa. Kesalapahaman beberapa hari ke belakang memang tak akan dilupakan langsung, tapi jadi pelajaran penting bagi ketiganya untuk bisa memahami posisi rekan masing-masing.
“Oh iya, Raf, waktu itu aku lihat kamu update di Instagram story beli bunga matahari. Jadi ya ketemu sama mantan?” tanya Arin dengan penekanan di akhir kata pertanyaan.
Cerita bersama Alana selama ini ditutup rapat oleh Rafli. Ia tidak ingin menunjukkan sesuatu yang sedih pada rekan kerjanya. Sampai sejauh ini pun apa yang teman-temannya ketahui hanya sebatas tentang dirinya yang tidak bisa move on dari sang mantan. Apalagi baginya hanya Alana tempat untuk mencurahkan segala isi hati dan keluh kesahnya.
Dari kunjungan ke makam Alana dua hari lalu, Rafli mulai sadar bahwa tak selamanya semua bisa dipendam sendiri. Ia butuh wadah baru untuk menampung apa yang ia bagi, entah itu soal pekerjaan ataupun kehidupan pribadi.
“Iya, Rin. Jadi waktu itu aku… ziarah ke makam mantan pacar aku,” jawab Rafli pelan. “Dia udah meninggal sekitar setahun lalu.”
Rei yang sudah bersiap menertawakan Rafli karena sering mendengarkan lagu galau kini berbalik memasang wajah bingung yang menyimpan tanya. Begitu juga dengan Arin yang masih mencoba mencerna apa yang dikatakan Rafli.